BKKBN mencatat, dari sekitar 34 juta peserta aktif KB per 2024, hanya 0,3% pria yang memilih metode vasektomi. Rendahnya angka ini bukan karena masyarakat tak tahu, tetapi karena persoalan budaya, maskulinitas, dan ketidakpastian hidup. Menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos bukan hanya sembrono, tapi juga tidak memahami akar persoalan.
Miskin Dihukum, Kaya Dibiarkan?
Inilah pertanyaan yang menggelitik: mengapa hanya orang miskin yang 'dihukum' karena memiliki anak banyak? Mengapa narasi "tanggung jawab" hanya diarahkan pada mereka yang paling lemah dalam struktur sosial?
Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kemiskinan tidak semata soal jumlah anak, tapi lebih pada akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik yang timpang. Dengan kata lain, anak bukan penyebab kemiskinan---negara yang gagal hadir, itulah biang keladinya.
"Kebijakan seperti ini membuat orang miskin seolah menjadi beban negara, padahal merekalah yang paling sering dikorbankan. Ini cara pikir kelas atas yang arogan," ujar Dinna Wisnu, pengamat kebijakan publik.
Solusi Kilat untuk Masalah Menahun
Langkah KDM dinilai terlalu simplistik. Ia memilih jalur cepat dan keras---memotong akar tanpa melihat pohonnya. Kebijakan publik tak bisa hanya viral di TikTok dan terasa "tegas" di kamera. Ia harus dijalankan dengan pertimbangan etik, hukum, dan dampak jangka panjang.
Jika tujuan KDM adalah pengendalian penduduk, maka edukasi seksual dan peningkatan akses alat kontrasepsi jauh lebih manusiawi dan berdampak. Jika tujuan utamanya adalah menekan angka kemiskinan, maka penyediaan lapangan kerja, jaminan sosial, dan pendidikan jauh lebih logis.
Refleksi: Negara Tak Berhak Memilihkan Masa Depan Rahim dan Alat Reproduksi Warganya
Sebuah negara demokratis tak boleh memaksa siapa pun untuk berhenti punya anak demi mendapat makan. Kebijakan semacam ini berbahaya karena membuka celah normalisasi kontrol tubuh atas nama moralitas dan efisiensi anggaran. Hari ini mungkin pria miskin yang dipaksa vasektomi. Besok bisa saja perempuan dipaksa suntik KB sebelum menikah.
KDM barangkali merasa sudah berbuat baik. Namun niat baik tak menghapus akibat buruk. Dan dalam kebijakan publik, akibat jauh lebih penting ketimbang niat.
Kita boleh sepakat bahwa Indonesia tak bisa terus-menerus mengabaikan problem kependudukan dan kemiskinan. Tapi kita juga harus tegas menolak pendekatan yang merendahkan martabat manusia. Memutus kemiskinan bukan dengan memutus jalur keturunan secara paksa, tapi dengan membuka jalan hidup yang lebih layak bagi setiap anak yang lahir.