Dalam waktu belum genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjalan, dua tokoh di lingkar kekuasaan memilih untuk mengundurkan diri setelah pernyataan mereka menuai polemik publik. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah ini tanda membaiknya standar etika pejabat publik di Indonesia?
Yang terbaru adalah pengunduran diri Hasan Nasbi dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden (Presidential Communication Office/PCO). Kontroversi bermula saat Hasan menanggapi pertanyaan wartawan soal teror berupa pengiriman kepala babi ke kantor Majalah Tempo. Ia menjawab, "Dimasak saja," sebuah komentar yang langsung dikritik karena dinilai meremehkan bentuk teror terhadap kebebasan pers.
Hasan kemudian menjelaskan bahwa pernyataan itu tidak dimaksudkan untuk mendukung aksi teror, namun sebagai bentuk sindiran terhadap pelaku. Walaupun tidak secara eksplisit Hasan Nasbi menghubungkan pengunduran dirinya dengan ucapannya tersebut, namun jelas ada konsekuensi yang terjadi. Oleh karenanya ia merasa perlu mempertanggungjawabkan ucapannya secara moral dan memilih mengundurkan diri. Dirinya tidak ingin menjadi beban Pemerintahan Prabowo - Gibran.
Gus Miftah dan Kesadaran Etik
Sebelumnya, Gus Miftah juga mengundurkan diri dari posisinya sebagai penasihat Presiden di bidang toleransi beragama. Keputusan itu diambil setelah video pernyataannya yang dianggap menghina seorang pedagang kecil beredar luas. Meskipun ia mengaku tidak bermaksud merendahkan siapa pun, Gus Miftah tetap memilih mundur.
"Kalau ucapan saya menyinggung masyarakat, saya bertanggung jawab dan memilih mundur," ucapnya kala itu.
Langkah Hasan dan Gus Miftah menjadi sangat mencolok, mengingat langkanya pejabat publik di Indonesia yang secara sukarela mengundurkan diri karena persoalan etika.
Menuju Tradisi Baru dalam Etika Publik?
Di banyak negara dengan demokrasi maju, seperti Jepang dan Inggris, budaya malu mendorong pejabat mundur meski kesalahan mereka tidak tergolong pelanggaran hukum. Etika dan tanggung jawab moral lebih diutamakan daripada sekadar kepatuhan terhadap aturan legal.
Indonesia selama ini dikenal memiliki budaya "tahan banting", di mana pejabat lebih sering membela diri, menyalahkan publik, atau bersandar pada dalih hukum untuk bertahan di kursi jabatan.
Namun, keberanian dua tokoh ini memilih mundur bisa menjadi awal dari perubahan budaya itu. Menurut Dr. Mariana Siregar, pakar etika publik dari Universitas Indonesia, ini adalah sinyal penting.
"Langkah mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral menunjukkan bahwa jabatan bukan tempat untuk sekadar bertahan, tapi ruang untuk memberi teladan," ujarnya.
Etika, Bukan Sekadar Legalitas