Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik

Suara Kritis dari Mereka yang Tersisih

7 November 2024   10:21 Diperbarui: 7 November 2024   13:22 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Jakarta News

Siapa yang tidak kenal dengan nama-nama seperti Amien Rais, Said Didu, Refly Harun, Rocky Gerung, dan Anies Baswedan? Dahulu, mereka berada di lingkaran kekuasaan, atau dalam sistem dan bergaul dengan para elit, bahkan menikmati empuknya kursi jabatan yang membuat mereka dikenal luas di masyarakat. Kini, posisi mereka di masyarakat tidak lagi ditentukan oleh jabatan resmi, melainkan oleh posisi yang sama sekali berbeda: sebagai oposisi, atau lebih tepatnya, barisan "oposisi tersisih."

Ada yang menyebut mereka has-beens, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah penjaga api kritik demokrasi. 

Tetapi kalau kita perhatikan, pola mereka mirip: tokoh-tokoh ini pernah memiliki posisi penting dalam pemerintahan, tetapi begitu terpinggirkan, mereka seolah menemukan panggung baru sebagai penjaga suara kritis. 

Mereka menyoroti setiap langkah pemerintah dengan teliti dan, tak jarang, nada sarkasme yang tajam. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini kritik tulus demi kebaikan bangsa, ataukah hanya panggung baru untuk kembali "eksis" di mata publik?

Amien Rais, misalnya, dahulu dielu-elukan sebagai "bapak reformasi" dan pernah menjabat sebagai ketua MPR. Said Didu sempat menduduki jabatan strategis di Kementerian BUMN, begitu pula Refly Harun yang pernah bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK) dan menjadi komisaris BUMN. 

Rocky Gerung yang dikenal sebagai dosen dan intelektual, pernah mengajar di Universitas Indonesia sebelum, konon, "terpaksa" berhenti.

Anies Baswedan, yang dulu menjadi juru bicara Jokowi pada Pilpres 2014, juga pernah merasakan empuknya kursi Menteri Pendidikan sebelum diberhentikan. 

Demikian pula Roy Suryo, mantan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, serta para mantan ketua KPK dan purnawirawan TNI-Polri yang kini berada di luar lingkaran kekuasaan. Dan seiring waktu, sebagian besar dari mereka kini berbaris sebagai kritikus pemerintah.

Demokrasi Versi Oposisi ala "Tersingkir"

Secara teoritis, demokrasi memerlukan oposisi yang sehat, mereka yang mengingatkan pemerintah, memberikan perspektif berbeda, dan mencegah kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat. 

Tetapi yang terjadi, banyak dari mereka ini lebih sering memposisikan diri sebagai oposisi dengan gaya asal beda. Ketimbang menyoroti isu-isu mendasar yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, seringkali topik-topik kontroversial menjadi senjata utama untuk mengkritik pemerintah. 

Mengapa? Karena itulah yang laku dijual. Di era media sosial, kontroversi adalah mata uang. Semakin kontroversial suatu isu, semakin ramai netizen berdatangan, semakin banyak media yang tertarik meliput.

Apakah kelompok ini bisa disebut oposisi yang produktif? Mungkin mereka lebih tepat disebut sebagai "oposisi eksistensial." 

Ahli komunikasi politik, seperti Prof. Jay Blumler, menggambarkan fenomena seperti ini sebagai protest politicians atau politisi protes: mereka yang muncul dari penolakan terhadap status quo namun tanpa komitmen penuh untuk menjadi alternatif yang lebih baik. 

Namun, bagi para mantan pejabat ini, barangkali "asal berbeda" adalah strategi ampuh. Mereka tahu bagaimana media bekerja dan betapa hausnya netizen akan kontroversi.

Kritik Demi Rakyat atau Demi Media?

Kritik yang membangun biasanya menyoroti kebijakan publik yang penting: pendidikan, kesehatan, harga bahan pokok, dan lain-lain. 

Namun, tak jarang kritik yang muncul dari kelompok ini lebih berfokus pada hal-hal yang sensasional atau sekadar perbedaan pendapat tanpa solusi jelas. 

Contohnya, perdebatan soal "kebodohan intelektual" atau "ideologi yang mengancam negara" sering kali memenuhi panggung opini mereka. 

Lucunya, meski sebagian dari mereka menyebut diri sebagai "Tokoh Masyarakat," tak jelas masyarakat mana yang mereka wakili. Sebagai oposisi yang "kritis tapi obyetif," mungkin banyak yang setuju mereka belum mencapai standar yang diharapkan.

Sebagai perbandingan, mari lihat apa yang dilakukan oposisi di negara-negara dengan demokrasi mapan. 

Oposisi di negara seperti Inggris atau Australia biasanya tidak sekadar membantah kebijakan, tetapi juga menawarkan alternatif yang realistis. 

Sementara di Indonesia, dengan segala hormat, para tokoh ini sepertinya lebih sibuk mencari perhatian ketimbang menciptakan solusi. 

Mungkin mereka memahami bahwa perhatian publik bukan lagi soal apa yang dikatakan, tapi siapa yang paling "menghebohkan."

Peran Media dan Netizen: Kolaborasi yang Menguntungkan

Dalam konteks ini, peran media dan netizen tidak bisa diabaikan. Media yang terus berorientasi pada clickbait akan selalu siap memberi ruang bagi mereka yang "beda pendapat." 

Di sisi lain, para netizen yang sebagian besar bersenang-senang memanas-manasi suasana, memberikan panggung baru bagi para "oposisi tersisih" ini. 

Kolaborasi antara media yang haus berita dan netizen yang penuh antusiasme ini tak hanya menjaga posisi mereka di atas panggung, tetapi juga memastikan bahwa mereka selalu punya audiens.

Namun, ada juga netizen yang cerdas, yang mulai bertanya-tanya: Apakah semua kritik ini memang demi kepentingan rakyat? Ataukah sekadar bentuk kekecewaan personal karena tak lagi berada di lingkaran kekuasaan? 

Toh, jika dilihat dari rekam jejak, sebagian dari mereka pernah menikmati manfaat dari kekuasaan yang kini mereka kritik habis-habisan. Sungguh ironi yang menarik.

Harapan Publik untuk Oposisi yang Sehat

Bagi demokrasi yang sehat, kita semua membutuhkan oposisi yang sejati: yang berbicara berdasarkan data, kritis tanpa bias, dan berani mengangkat isu-isu yang benar-benar menyentuh kehidupan banyak orang. 

Isu-isu seperti ketahanan pangan, pendidikan berkualitas, akses kesehatan, dan stabilitas ekonomi. 

Sayangnya, kritik seperti ini tidak sering kita dengar dari kelompok ini. Mungkin, bagi mereka, "isu besar" kurang menarik dibandingkan "isu panas." 

Ini tentu saja kekecewaan besar bagi masyarakat yang berharap pada oposisi untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan popularitas.

Terlepas dari semua itu, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: meskipun sering dianggap sebagai "oposisi eksistensial," suara mereka tetap penting dalam lanskap politik Indonesia. 

Pada akhirnya, publik yang akan memutuskan, apakah mereka memang pantas disebut "Tokoh Masyarakat" atau sekadar "tokoh yang membutuhkan masyarakat." 

Dan bagi para kritikus sejati, ada satu pesan sederhana: jika memang berkomitmen untuk rakyat, buktikanlah dengan kualitas kritik yang berorientasi pada solusi, bukan sekadar beda pendapat.***MG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun