"Beli sekarang, bayar nanti."
Kalimat sederhana ini terdengar manis di telinga banyak orang. Kita bisa memesan makanan, tiket, bahkan pakaian baru tanpa harus menunggu gajian. Semuanya terasa ringan dan cepat --- seolah memberi solusi instan di tengah kebutuhan yang tak menunggu. Tapi di balik kemudahan itu, ada tanda tanya yang pelan-pelan mengusik: benarkah Paylater menolong, atau justru menjerat kita secara halus?
---
 Kemudahan yang Menggoda
Hampir semua platform kini punya fitur Paylater. Dari ojek online, toko e-commerce, sampai aplikasi pesan makanan --- semua menawarkan opsi beli dulu, bayar nanti.
Bagi sebagian orang, ini membantu. Misalnya, ketika harus membeli kebutuhan mendesak sementara gaji belum cair. Tak heran, menurut survei OJK pada 2025, pengguna Paylater meningkat lebih dari 60% dalam dua tahun terakhir, dengan mayoritas berasal dari kalangan usia 20--35 tahun.
Namun, yang tampak mudah tak selalu sederhana. Kemudahan ini sering kali membuat kita kehilangan rasa "berpikir dua kali sebelum membeli". Sekali klik, barang datang. Tapi pembayaran---entah besok, minggu depan, atau bulan depan---menunggu di belakang layar.
---
 Antara Menolong dan Menjebak
Paylater ibarat dua sisi dari uang yang sama. Di satu sisi, ia memberi keleluasaan finansial, membantu arus kas, bahkan bisa jadi penyelamat di situasi mendesak. Di sisi lain, ia menciptakan ilusi: seolah kita punya lebih banyak uang dari yang sebenarnya.