Mohon tunggu...
MARISA FITRI
MARISA FITRI Mohon Tunggu... Mahasiswi

Saya suka menciptakan karya sastra yang memiliki nilai moral seperti cerpen, puisi, diary dan karya sastra lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Payung Awan

5 Maret 2025   06:00 Diperbarui: 19 Maret 2025   09:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pngtree: Hujan dan Payung Biru

Hujan turun rintik-rintik saat aku bertemu dengannya di taman kota. Payung biru langitnya terbuka, melindunginya dari gerimis yang turun perlahan. Aku, yang tak membawa payung, hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Dia tersenyum dan melangkah mendekat, memayungiku tanpa banyak kata. Itulah awal mula kisah cinta yang seharusnya tak pernah ada.


Namanya Awan. Lelaki dengan tatapan sendu dan senyum yang menyimpan rahasia. Aku, Nadira, seorang perempuan yang sudah bertunangan dengan seseorang yang kupilih atas restu keluarga. Aku tahu sejak awal bahwa pertemuan dengan Awan hanya akan membawa luka di kemudian hari, tapi entah kenapa aku terus mencarinya. Mungkin karena di bawah payungnya, aku merasa tenang.


Setiap sore, aku dan Awan bertemu di taman. Hanya di tempat itu kami bisa berbagi cerita, berbagi kebahagiaan yang tak seharusnya ada. Dia selalu membawa payungnya, seolah tahu bahwa aku butuh perlindungan, bukan dari hujan, melainkan dari perasaanku sendiri. Aku sering bertanya, mengapa dia mau terus menemaniku padahal dia tahu aku bukan miliknya? Dia hanya tersenyum dan berkata, "karena aku ingin menjaga hujan di matamu tetap menjadi gerimis, bukan badai."
Namun, cinta terlarang tak akan selamanya bisa disembunyikan. Pertunanganku semakin dekat. Orang tuaku terus menanyakan kapan aku akan memperkenalkan tunanganku secara resmi. Aku tahu, aku tak bisa lagi berlama-lama di bawah payung Awan. Tapi setiap kali aku mencoba menghindarinya, hatiku terasa hampa.


Beberapa hari berlalu tanpa pertemuan. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan kesibukan persiapan pernikahan, tetapi bayangan Awan tetap menghantuiku. Malam-malamku dipenuhi oleh mimpi tentang senyumnya, tatapannya, dan payung biru langit yang selalu menaungiku.
Sore itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku datang ke taman dengan hati yang berat. Awan sudah menungguku dengan payung biru langitnya. Aku tahu ini harus berakhir, tapi aku tak tahu bagaimana mengatakannya tanpa menyakiti kami berdua.
"Awan," suaraku bergetar. "Aku harus pergi."
Dia diam, hanya menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Aku tahu."

Aku menggigit bibir. "Aku tak ingin ini berakhir, tapi aku harus."
Dia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Nadira. Aku selalu mengerti."
Hujan semakin deras. Aku ingin berlari, tapi tubuhku tak mampu bergerak. Awan mendekat, menutupkan payungnya lebih rapat ke arahku, seolah ingin melindungiku sekali lagi sebelum aku benar-benar pergi.
"Satu hal yang ingin aku tahu," suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. "Jika tak ada yang menghalangi, akankah kau memilihku?"
Aku tak bisa menjawab. Aku tahu jawaban di hatiku, tapi mengatakannya hanya akan membuat perpisahan ini semakin menyakitkan. Aku hanya menatapnya dengan air mata yang bercampur dengan rintik hujan. Awan menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.
"Terima kasih, Nadira," katanya. "Untuk semua waktu yang kau berikan di bawah payung ini."
Lalu, tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah mundur. Untuk pertama kalinya, dia menutup payungnya, membiarkan dirinya basah oleh hujan yang mengguyur. Aku melihatnya berjalan pergi, langkahnya mantap meski aku tahu hatinya tidak demikian.


Aku berbalik, berlari meninggalkan taman dengan perasaan yang kosong. Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mendengar kabar bahwa Awan telah pergi dari kota ini. Tak ada yang tahu kemana dia pergi, hanya tersisa bayangan kenangan yang tertinggal di benak dan berputar dalam kepalaku.


Kepergian Awan membuatku banyak mengingat tentang dirinya yang selalu memberikan payung di bawah hujan yang deras, akan tetapi sekarang dirinya mungkin lebih merasakan kehilangan sebab aku tahu dirinya tidak benar-benar Ikhlas untuk melepaskan diriku bersama orang lain. Dan waktu yang membiasakan segalanya hingga sampai saat ini hanyalah rautan indah dari senyumnya selalu terlintas indah dalam pikiranku.


Hari pernikahanku pun tiba. Aku berdiri di depan altar yang sangat indah, akan tetapi hatiku masih saja menginginkan Awan namun di sisi lainnya ada genggaman tangan pria yang telah kupilih dengan restu keluarga. Tak bisa ku bohongi jika di sudut hatiku, ada ruang kosong yang tak bisa terisi. Payung biru langit itu mungkin tak lagi ada di sisiku, tetapi di bawah payung Awan, aku pernah merasakan cinta yang tak bisa kumiliki untuk selamanya dan termakan oleh waktu tak lekang.


Tahun-tahun berlalu. Aku telah menjalani kehidupan yang diharapkan keluargaku. Suamiku adalah pria baik, penuh perhatian, dan mencintaiku dengan tulus. Tapi ada malam-malam di mana aku memandangi hujan di luar jendela dan bertanya-tanya, apakah Awan masih mengingatku? Apakah dia masih membawa payung biru langitnya, atau mungkin sudah membiarkan hujan mengguyur dirinya sepenuhnya?


Suatu hari, aku menemukan sebuah kotak kecil di lemari tua rumah ibuku. Kotak itu berisi kenangan masa lalu, foto-foto lama, surat-surat yang tak pernah kukirim, dan satu hal yang membuat hatiku berhenti berdetak sejenak: sebuah payung biru kecil berbentuk gantungan kunci. Aku mengangkatnya, merasakan dinginnya logam di telapak tanganku, dan tanpa sadar air mataku mengalir di pipiku seolah mengingat semua kenangan yang pernah ada di balik payung biru Awan tersebut.


Hujan turun begitu deras di luar rumah. Aku berjalan ke teras, membiarkan rintik air membasahi wajahku. Dalam diam, aku tersenyum tipis. Mungkin beberapa cinta memang hanya bisa hidup dalam kenangan. Tapi aku tahu, di suatu tempat di bawah payung awan, Awan juga masih mengenang akan kehadiranku setiap detik dan menitnya.
Tak terasa tahun berganti tahun pernikahanku sudah berjalan 10 tahun hingga aku dikaruniai seorang anak laki-laki yang kuberi nama "Muhammad Rizwan". Namanya kuberikan dengan harapan bahwa anak ini akan bisa selalu mengingatkanku pada kenangan dulu bersama seorang laki-laki yang selalu melindungiku dari derasnya hujan di bawah payung birunya, "Awan" ya nama yang sama dengan nama putra pertamaku memiliki rupa yang tampan berusia 6 tahun.


Aku heran bagaimana mungkin selama 10 tahun ini aku belum bisa melupakan seseorang yang bernama Awan. Seolah dirinya tidak mengizinkan diriku untuk mengubur dalam akan kenangan bersamanya, hingga aku menyadari bahwa aku memang sempat menyimpan perasaan padanya walaupun perasaan tersebut harus kularang oleh keinginan keluargaku sendiri. Namun aku tahu, perasaan yang pernah timbul itu kini hanya kenangan dalam masa laluku sehingga aku bingung bagaimana dan mulai dari mana aku harus melupakannya sebab dirinya tidak mengajarkan untuk melupakannya untuk selamanya.

Suatu hari aku mengajak anakku, Awan ke supermarket untuk membeli keperluan dapur dan rumah tangga, hingga kejadian tak terduga membuatku kaget. Aku bertabrakan dengan seorang laki-laki yang memakai masker, sedangkan aku tidak mengenalinya tetapi dia menyapaku terlebih dulu lalu membuatku heran.
"Nadira, bagaimana kabarmu?" katanya.
Aku tidak mengenalinya ketika dia memanggil namaku, tetapi saat dia membuka maskernya detik itu juga seolah hatiku tak berdetak. "Awan, kau ada di sini sejak kapan?" tanyaku gugup.


Awan berdiri dengan gagahnya di depanku sehingga aku merasa sedang bermimpi setelah sekian lama tidak bertemu dengan dirinya. Dia datang di waktu yang tidak tepat dan tempat yang tak terduga, jadi kami merasa sedikit canggung satu sama lain tetapi aku tahu dia masih mengingatku sebab kenangan yang pernah ada 10 tahun yang lalu.
"Semenjak kau memutuskan untuk menikah dulu, aku pergi dari kota ini ke Amerika, bekerja sebagai seorang pengusaha muda selama 5 tahun", ucap Awan.
"Sejauh ini kabarku baik-baik saja Awan, hingga sejauh ini aku sudah memiliki putra yang juga kuberi nama "Awan" mirip sepertimu", ucapku pada Awan.
Awan terdiam sejenak mendengar perkataanku bahwa aku sudah mempunyai seorang putra yang kuberi nama mirip dengannya. Namun, dia tersenyum tipis tetapi hatinya mungkin bahagia mengetahui aku sudah bahagia semenjak kepergiannya padahal aku hanya terbiasa tanpa kehadirannya di hari-hari dan taman yang merupakan tempat favorit kita dulu.
"Nadira, aku bahagia dan senang sekali melihatmu sejauh ini dan memiliki putra yang begitu tampan, tapi aku tak tahu mengapa kau memberinya nama "Awan"? tanya Awan padaku.


ku terdiam sesaat ketika Awan menanyakan hal tersebut. "Kau tentu tahu alasanku menamai putraku "Awan", sebab aku pernah bertemu seorang laki-laki yang sangat melindungiku dari badai di bawah payungnya", ucapku seolah Awan paham maksudku.
"Kau tahu Nadira, aku tidak pernah benar mengikhlaskan kepergianmu bersama laki-laki lain tetapi putramu sudah cukup membuatkan bangga dengan menamai dirinya dengan namaku. Terima kasih dan aku harus pamitan denganmu," ucap Awan.
"Baiklah Awan, semoga kamu bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri".
Pertemuan tak terduga dengan Awan seolah menyimpan pertanyaan tanpa jawaban terduga, mengapa dia tidak mengikhlaskanku tetapi dia juga menyimpan rasa yang begitu besar hingga sampai saat ini menjadi hal besar bagiku.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun