Hujan turun rintik-rintik saat aku bertemu dengannya di taman kota. Payung biru langitnya terbuka, melindunginya dari gerimis yang turun perlahan. Aku, yang tak membawa payung, hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Dia tersenyum dan melangkah mendekat, memayungiku tanpa banyak kata. Itulah awal mula kisah cinta yang seharusnya tak pernah ada.
Namanya Awan. Lelaki dengan tatapan sendu dan senyum yang menyimpan rahasia. Aku, Nadira, seorang perempuan yang sudah bertunangan dengan seseorang yang kupilih atas restu keluarga. Aku tahu sejak awal bahwa pertemuan dengan Awan hanya akan membawa luka di kemudian hari, tapi entah kenapa aku terus mencarinya. Mungkin karena di bawah payungnya, aku merasa tenang.
Setiap sore, aku dan Awan bertemu di taman. Hanya di tempat itu kami bisa berbagi cerita, berbagi kebahagiaan yang tak seharusnya ada. Dia selalu membawa payungnya, seolah tahu bahwa aku butuh perlindungan, bukan dari hujan, melainkan dari perasaanku sendiri. Aku sering bertanya, mengapa dia mau terus menemaniku padahal dia tahu aku bukan miliknya? Dia hanya tersenyum dan berkata, "karena aku ingin menjaga hujan di matamu tetap menjadi gerimis, bukan badai."
Namun, cinta terlarang tak akan selamanya bisa disembunyikan. Pertunanganku semakin dekat. Orang tuaku terus menanyakan kapan aku akan memperkenalkan tunanganku secara resmi. Aku tahu, aku tak bisa lagi berlama-lama di bawah payung Awan. Tapi setiap kali aku mencoba menghindarinya, hatiku terasa hampa.
Beberapa hari berlalu tanpa pertemuan. Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan kesibukan persiapan pernikahan, tetapi bayangan Awan tetap menghantuiku. Malam-malamku dipenuhi oleh mimpi tentang senyumnya, tatapannya, dan payung biru langit yang selalu menaungiku.
Sore itu, hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku datang ke taman dengan hati yang berat. Awan sudah menungguku dengan payung biru langitnya. Aku tahu ini harus berakhir, tapi aku tak tahu bagaimana mengatakannya tanpa menyakiti kami berdua.
"Awan," suaraku bergetar. "Aku harus pergi."
Dia diam, hanya menatapku dengan mata yang penuh pengertian. "Aku tahu."
Aku menggigit bibir. "Aku tak ingin ini berakhir, tapi aku harus."
Dia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Nadira. Aku selalu mengerti."
Hujan semakin deras. Aku ingin berlari, tapi tubuhku tak mampu bergerak. Awan mendekat, menutupkan payungnya lebih rapat ke arahku, seolah ingin melindungiku sekali lagi sebelum aku benar-benar pergi.
"Satu hal yang ingin aku tahu," suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. "Jika tak ada yang menghalangi, akankah kau memilihku?"
Aku tak bisa menjawab. Aku tahu jawaban di hatiku, tapi mengatakannya hanya akan membuat perpisahan ini semakin menyakitkan. Aku hanya menatapnya dengan air mata yang bercampur dengan rintik hujan. Awan menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil.
"Terima kasih, Nadira," katanya. "Untuk semua waktu yang kau berikan di bawah payung ini."
Lalu, tanpa menunggu jawaban dariku, dia melangkah mundur. Untuk pertama kalinya, dia menutup payungnya, membiarkan dirinya basah oleh hujan yang mengguyur. Aku melihatnya berjalan pergi, langkahnya mantap meski aku tahu hatinya tidak demikian.
Aku berbalik, berlari meninggalkan taman dengan perasaan yang kosong. Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku mendengar kabar bahwa Awan telah pergi dari kota ini. Tak ada yang tahu kemana dia pergi, hanya tersisa bayangan kenangan yang tertinggal di benak dan berputar dalam kepalaku.
Kepergian Awan membuatku banyak mengingat tentang dirinya yang selalu memberikan payung di bawah hujan yang deras, akan tetapi sekarang dirinya mungkin lebih merasakan kehilangan sebab aku tahu dirinya tidak benar-benar Ikhlas untuk melepaskan diriku bersama orang lain. Dan waktu yang membiasakan segalanya hingga sampai saat ini hanyalah rautan indah dari senyumnya selalu terlintas indah dalam pikiranku.
Hari pernikahanku pun tiba. Aku berdiri di depan altar yang sangat indah, akan tetapi hatiku masih saja menginginkan Awan namun di sisi lainnya ada genggaman tangan pria yang telah kupilih dengan restu keluarga. Tak bisa ku bohongi jika di sudut hatiku, ada ruang kosong yang tak bisa terisi. Payung biru langit itu mungkin tak lagi ada di sisiku, tetapi di bawah payung Awan, aku pernah merasakan cinta yang tak bisa kumiliki untuk selamanya dan termakan oleh waktu tak lekang.
Tahun-tahun berlalu. Aku telah menjalani kehidupan yang diharapkan keluargaku. Suamiku adalah pria baik, penuh perhatian, dan mencintaiku dengan tulus. Tapi ada malam-malam di mana aku memandangi hujan di luar jendela dan bertanya-tanya, apakah Awan masih mengingatku? Apakah dia masih membawa payung biru langitnya, atau mungkin sudah membiarkan hujan mengguyur dirinya sepenuhnya?
Suatu hari, aku menemukan sebuah kotak kecil di lemari tua rumah ibuku. Kotak itu berisi kenangan masa lalu, foto-foto lama, surat-surat yang tak pernah kukirim, dan satu hal yang membuat hatiku berhenti berdetak sejenak: sebuah payung biru kecil berbentuk gantungan kunci. Aku mengangkatnya, merasakan dinginnya logam di telapak tanganku, dan tanpa sadar air mataku mengalir di pipiku seolah mengingat semua kenangan yang pernah ada di balik payung biru Awan tersebut.
Hujan turun begitu deras di luar rumah. Aku berjalan ke teras, membiarkan rintik air membasahi wajahku. Dalam diam, aku tersenyum tipis. Mungkin beberapa cinta memang hanya bisa hidup dalam kenangan. Tapi aku tahu, di suatu tempat di bawah payung awan, Awan juga masih mengenang akan kehadiranku setiap detik dan menitnya.
Tak terasa tahun berganti tahun pernikahanku sudah berjalan 10 tahun hingga aku dikaruniai seorang anak laki-laki yang kuberi nama "Muhammad Rizwan". Namanya kuberikan dengan harapan bahwa anak ini akan bisa selalu mengingatkanku pada kenangan dulu bersama seorang laki-laki yang selalu melindungiku dari derasnya hujan di bawah payung birunya, "Awan" ya nama yang sama dengan nama putra pertamaku memiliki rupa yang tampan berusia 6 tahun.