Ketika Hati yang Bekerja
Yang patut diapresiasi, Gubernur Banten Andra Soni akhirnya turun tangan memediasi kedua pihak. Di ruang kerjanya, kepala sekolah dan siswa bernama Indra saling menatap, saling meminta maaf.
"Saya minta maaf atas kesalahan saya," ucap sang siswa.
"Ibu maafkan, dan ibu juga minta maaf atas kata-kata ibu. Semoga Indra ikhlas," jawab sang kepala sekolah dengan mata berkaca.
Adegan itu sederhana, tapi menyentuh. Di tengah riuhnya pemberitaan, dua insan pendidik dan terdidik menunjukkan makna sejati dari pendidikan karakter: keberanian untuk mengakui salah dan keikhlasan untuk memaafkan.
Refleksi dari Sebuah Tamparan
Sebagai guru, aku belajar bahwa mendidik bukan hanya tentang mengajar, tapi juga tentang mengelola emosi. Kita dituntut bukan sekadar memberi pengetahuan, melainkan menjadi teladan kesabaran dan kebijaksanaan.
Namun di sisi lain, siswa pun perlu memahami batas-batas kebebasan mereka. Merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran serius. Saat guru menegur, semestinya itu menjadi ruang refleksi, bukan perlawanan.
Orang tua juga memiliki peran besar. Alih-alih langsung menempuh jalur hukum, alangkah baiknya jika kasus seperti ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama antara sekolah, siswa, dan keluarga. Karena pendidikan sejati terjadi saat semua pihak saling mendengar, bukan saling menuding.
Menemukan Makna di Balik Luka
Kini, Ibu Dini Fitri kembali diaktifkan sebagai kepala sekolah. Situasi memang sempat tidak kondusif, tapi perlahan kembali normal. Bagi saya, peristiwa ini bukan sekadar kisah penamparan---melainkan peringatan bahwa setiap tindakan guru adalah ujian kedewasaan.