Ketika Tamparan Guru Menjadi Cermin Bagi Dunia Pendidikan
Peristiwa penamparan siswa di Lebak bukan sekadar berita viral. Ia adalah cermin yang memperlihatkan wajah pendidikan kita hari ini yang sedang berjuang menyeimbangkan antara ketegasan dan kasih.
Setiap guru pasti pernah menghadapi situasi sulit  antara mendidik dengan tegas atau menegur dengan lembut. Tidak jarang, di balik wajah yang tampak tenang, ada pergulatan batin yang hebat. Aku pun pernah berada dalam posisi itu: menahan amarah saat siswa membantah, menelan kecewa ketika mereka mengulang kesalahan yang sama, dan mencoba sabar meski hati sebenarnya sedang bergejolak.
Menjadi guru tidak sekadar tentang menyampaikan pelajaran, tetapi juga tentang mengendalikan diri di tengah ujian yang datang dari arah tak terduga. Sering kali, guru dituntut untuk menjadi sosok yang sempurna sabar tanpa batas, bijak tanpa cela, kuat tanpa lelah. Padahal, di balik seragam dan senyuman itu, guru juga manusia biasa, yang bisa lelah, terluka, dan khilaf.
Ketika membaca berita tentang seorang kepala sekolah yang menampar siswanya karena ketahuan merokok, aku terdiam cukup lama. Bukan karena ingin menghakimi, tapi karena peristiwa itu seakan menghadirkan cermin besar di hadapanku. Sebuah cermin yang memantulkan wajah pendidikan kita hari ini wajah yang lelah, tertekan, dan terkadang kehilangan ruang untuk bernafas dengan hati.
Kasus itu terjadi di SMA Negeri 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Tamparan yang berlangsung hanya sekejap itu kemudian mengguncang ruang publik, menjelma polemik antara kedisiplinan dan kekerasan. Sebagian orang menyalahkan kepala sekolah, sebagian lain membelanya. Namun di balik hiruk-pikuk opini, aku justru melihatnya sebagai panggilan untuk merenung lebih dalam: apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan kita?
Niat Baik yang Tersandung Cara
Kepala sekolah itu, Ibu Dini Fitri, menegur siswanya karena merokok di area sekolah. Teguran itu disampaikan dengan kata-kata keras, bahkan diikuti dengan tamparan. Dalam hitungan jam, berita pun menyebar, memantik reaksi dari banyak pihak.
Aku percaya, niat awal sang kepala sekolah bukan untuk melukai. Mungkin ia hanya ingin menegakkan disiplin. Tetapi dalam dunia pendidikan modern, cara sering kali lebih penting daripada sekadar tujuan. Sebab setiap tindakan pendidik akan selalu menjadi cermin bagi peserta didiknya.
Teguran yang keras bisa jadi dimaksudkan untuk mendidik, namun jika dibungkus emosi, hasilnya justru melukai. Di titik inilah, kita semua perlu berhenti sejenak untuk bertanya: sudahkah kita mendidik dengan hati?