Kontainerisasi (Docker) — memungkinkan aplikasi dikemas dalam lingkungan terisolasi yang portabel dan konsisten di berbagai platform.
Orkestrasi (Kubernetes) — berperan sebagai pengelola otomatis yang menangani deployment, pemantauan, serta pemulihan aplikasi dari kegagalan.
Otomasi CI/CD — memastikan integrasi dan pengiriman kode berlangsung cepat dan andal tanpa campur tangan manual berlebih.
Arsitektur Microservices mendekomposisi aplikasi menjadi layanan kecil yang berdiri sendiri dan berfokus pada satu fungsi bisnis. Masing-masing layanan dapat dikembangkan, diuji, dan diimplementasikan secara independen. Pendekatan ini banyak mengadopsi prinsip Domain-Driven Design (DDD), yang memetakan layanan berdasarkan konteks bisnis untuk mengurangi ketergantungan antar-modul.
Interaksi antar-layanan dapat dilakukan secara sinkron melalui API Gateway (HTTP/REST) untuk komunikasi langsung, atau asinkron menggunakan message broker seperti Kafka untuk menjaga ketahanan sistem dan meminimalkan dampak kegagalan.
IV. Strategi Migrasi: Pola “Strangler Fig”
Migrasi langsung dari sistem monolitik ke microservices secara menyeluruh sangat berisiko. Karena itu, strategi yang paling aman adalah pendekatan Strangler Fig Pattern, yakni melakukan transisi bertahap dengan membangun microservices di sekitar sistem lama. Secara perlahan, fungsi-fungsi monolit digantikan oleh layanan baru hingga sistem lama sepenuhnya dapat dihentikan.
Proses ini dilakukan melalui tiga tahap utama:
Dekomposisi Domain — memecah sistem berdasarkan batas konteks bisnis, seperti autentikasi, pemrosesan pesanan, dan pencarian.
Prioritas Migrasi Strategis — memindahkan modul dengan perubahan paling sering atau beban kerja tertinggi terlebih dahulu, untuk memberikan dampak bisnis paling cepat.
Strategi Manajemen Data — mengelola pemisahan data menggunakan teknik seperti Change Data Capture (CDC) agar layanan baru tetap dapat membaca data lama dengan aman selama masa transisi.