Mohon tunggu...
Mario Fernandes
Mario Fernandes Mohon Tunggu... Lainnya - Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia

mario.fernandes@ui.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Money

Synopsis The Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy

15 Desember 2020   13:19 Diperbarui: 15 Desember 2020   13:25 3753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
amazon.in/Borderless-World-Kenichi-Ohmae

Bab 5. The China Mentality

Penulis menjelaskan ketika sebuah perusahaan terbiasa memikirkan produknya dengan cara tertentu dalam jangka waktu yang lama, ia dapat melupakan apa yang sebenarnya diinginkan atau yang menjadi kebutuhan pelanggan. Sehingga diperlukan proses resegmentasi pasar yang eksplisit terutama untuk memenuhi permintaan pelanggan. Masalah yang dihadapi perusahaan dalam mendapatkan pengembangan produk secara efektif dihubungkan ke visi sangat bervariasi. Perusahaan telah kehilangan sentuhan dengan apa yang sebenarnya diinginkan pelanggan mereka. Kehilangan sentuhan ini terjadi karena begitu mudahnya melakukan riset pasar yang buruk. Seringkali, manajer hanya akan diberi tahu karyawan apa yang hendak didengar manajer. Penulis menjabarkan bagian dari apa saja yang diperlukan untuk pengembangan operasi kelas dunia yakni kemampuan dan minat serta keberanian untuk terus bertanya pertanyaan "Mengapa?" sampai jawabannya cukup mendasar untuk memandu usaha dan ide kreatif.

Bab 6. Getting Rid of the Headquarters Mentality

Penulis menyampaikan bahwa ketekunan adalah kunci untuk kelangsungan hidup jangka panjang, Headquarters Mentality bukan hanya bermasalah pada sikap buruk atau antusiasme yang salah arah. Sebaliknya bertumpu pada sistem perusahaan, struktur, dan perilaku yang mengakar. jika perusahaan ingin beroperasi secara global maka ia harus berpikir dan bertindak secara global yaitu menentang sistem yang mengakar yang bekerja melawan upaya kolaboratif. Banyak perusahaan terutama mereka yang memiliki pengalaman internasional selama puluhan tahun sulit untuk bergerak di luar bentuk organisasi multinasional yang didominasi markas besar. Banyak perusahaan telah mampu beroperasi dengan sukses dunia tanpa pernah melakukan transisi ke tahap 5. Coca Cola, misalnya, adalah perusahaan multilokal yang masih didominasi dengan orientasi markas.

Bab 7. Planting for a Global Harvest

Penulis menjelaskan Usaha menuju globalisasi gagal kebanyakan karena kesalahan visi organisasi dan nilai yang diperlukan untuk sukses. Seiring perusahaan yang mengglobal, waktu dan usaha yang dibutuhkan untuk menjaga budaya organisasi semakin besar dan aspek lokal yang dulu menyatukan, kini memisahkan. Harus ada tujuan bersama yang lintas-negara. Setiap pasar nasional memiliki aturannya masing-masing, dan tidak ada jaminan aturan tersebut dapat dipahami sepenuhnya. Tiap negara juga memiliki karakteristik yang menonjol contohnya, pengiklanan kurang efektif di negara berkembang. Ada dimensi budaya yang harus diperhatikan juga, perusahaan global harus memperhatikan nilai universal dan variasinya dalam setiap lingkungan bisnis mereka. Diperlukan kombinasi terhadap unit bisnis yang terpisah berdasarkan pasar/pelanggannya ke dalam unit budaya koheren yang menyediakan "tanah" di mana setiap bisnis bisa berkembang.

Bab 8. The Global Logic of Strategic Alliances

Penulis menjelaskan bahwa Aliansi global merupakan sebuah mekanisme yang valid untuk mendorong kontribusi menjadi fixed costs, koverasi biaya produksi tambahan, dan juga memperluas brand serta memperluas distribusi. Pada zaman dulu atau era lama, pendekatan perluasan secara internasional dilakukan secara pribadi dengan "mencaplok" yang lain atau membuat joint ventures. Miskonsepsi kontrol penuh untuk meningkatkan kesuksesan inilah yang harus dihadapi oleh manajer karena hal akan mudah menjadi "tidak enak" (sour) saat mereka berpindah ke mode kepemilikan model kontrak (atau aliansi yang setengah kontrol pada era baru). Pada era lama dengan adanya joint ventures, kedua pihak dan khususnya manajerial tingkat tengah berusaha untuk membuat hal-hal bekerja dengan pikiran "100% kontrol" yang akhirnya membuat perusahaan tidak dapat membeli pikiran, semangat, atau kesetiaan pekerja-pekerjanya. Dua halangan yang dapat menghancurkan joint ventures adalah kontrak, yang dapat merefleksikan pemahaman beban, pasar, dan teknologi hanya pada saat kontrak ditandatangani yang menyebabkan pada saat terjadi perubahan maka pihak-pihak terkait tidak mencoba dengan serius untuk berkompromi dan menyesuaikan; dan parent company yang berperilaku seperti orang tua dimanapun di dunia ini, tidak memberikan ruang untuk bernafas atau waktu bagi mereka untuk bertumbuh, memperluas jaringannya di ranah orang tua.

Hal ini juga dapat terjadi di dalam hubungan aliansi bisnis, namun join venture biasanya lebih bermasalah karena anak perusahaan (ventures) kecil kemungkinannya untuk memiliki kapabilitas fungsional secara penuh, atau freestanding entities. Namun bukan berati anak perusahaan harus bertindak melanggar "kepentingan" parent companies, tujuan dasar desain relasi perusahaan yang pintar adalah membuat sebuah aturan yang dapat memberikan keuntungan setiap pihak untuk melengkapi yang lainnya. Agar aliansi dapat bekerja maka diperlukan perubahan fokus dari return of investments (ROI) menjadi return on sales (ROS). Orientasi ROS berarti akan membuat manajer peduli dengan keuntungan bisnis aliansi yang sedang berjalan dan tidak hanya menunggu untuk efek yang "sehat" dari investasi mereka di awal.

Bab 9. Lies, Damned Lies, and Statistics

Sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar, Amerika Serikat dinilai memiliki defisit perdagangan dengan beberapa negara yang bisanya menjadi partner, seperti Jepang. Nilai export Amerika dalam banyak ketegori produk masih sangat rendah, tidak seperti negara -- negara di Eropa dan Jepang. Perusahaan di Amerika sudah terbiasa dengan pasar yang luar biasa besar, dan daya beli yang tinggi secara domestik. Amerika Serikat pada dasarnya tidak memiliki "perdagangan luar negeri". Dikarenakan Amerika tidak pernah harus berupaya untuk 'membeli' nilai tukar mata uang, agar dapat membeli produk dari luar Amerika. Perdagangan bukan lagi sebagai macroeconomic phenomenon seperti dahulu kala, sekarang ini hanyalah sebagai pergerakan dari arus globalisasi dari perusahaan -- perusahaan berskala sangat besar dan internasional. Produk yang berputar di pasaran diantara negara -- negara berkembang mayoritasnya adalah produk specialized, bukan produk komoditi, dan nilai tukar mata uang bukan sebagai peranan penting dalam perputaran pasar tersebut. Sehingga, di dunia borderless world, kita tidak dapat melihat statistik perdagangan dari pemerintah dan menjadikannya sebagai kesimpulan. Penulis menutup dengan penyampaian, bahwa kenyataannya Amerika Serikat butuh kekuatan mata uang dollar yang lebih kuat dan stabil sebelum perusahaan -- perusahaan Amerika secara permanen berpindah untuk berproduksi di luar dari Amerika Serikat itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun