Mohon tunggu...
marink
marink Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Pemimpin yang Berbudaya dan Berempati untuk Jakarta

19 Juli 2016   12:20 Diperbarui: 19 Juli 2016   12:27 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto diambil dari http://www.silet.co.id/2016/04/jokowi-dulu-lebih-memilih-bicara-dengan.html?m=1"][/caption]

Bung Karno adalah seorang lulusan teknik sipil, arsitektur, dan perencanaan kota. Maka, saat si Bung ingin mempercantik Ibukota dari Bangsa yang Ia merdekakan, menjadikan Ja(ya)karta sebuah kota yang berbudaya, maka ia memilih seniman Henk Ngantung menjadi Gubernur.

Sebelum menjadi Gubernur dalam periode yang singkat tahun 1964-1965 (karena sakit yang diderita), Henk menjabat sebagai Wakil Gubernur Ja(ya)karta periode 1960-64. Berbagai landmark yang indah dan patung-patung cantik, yang masih berdiri merana dalam kumuh di tengah bising, semrawut, dan macetnya Kota Ja(ya)karta, dibangun di era Henk menjadi Gubernur ataupun Wakil Gubernur. Saking berjasanya Henk Ngantung mempercantik Ibukota Indonesia, saat isterinya Hetty Evelyn Ngantung meninggal di usia 75 tahun pada 12 September 2014, Jokowi (yang baru memenangi Pilpres 2014, hanya belum dilantik) dan Iriana Jokowi berkesempatan melayat.

Karakter Jokowi pastilah mirip dengan Bung Karno yang senang dengan keindahan. Itulah yang menyebabkan dirinya memilih bertempat tinggal di Istana Bogor yang tenang, asri, dan indah, mejauhi Kota Ja(ya)karta yang kumuh, semrawut, dan macet. Karenanya, seperti Bung Karno, Jokowi pun pasti ingin mempercantik Kota Ja(ya)karta, menjadikan Ja(ya)karta kota yang berbudaya untuk seluruh rakyat Jakarta.

Setidaknya, bila tidak mampu menjauhkan kumuh, semrawut, dan macet Jokowi ingin merawat sisa-sisa keindahan patung-patung peninggalan masa Henk Ngantung, maka itu dia memilih Hilmar Farid, seorang intelektual-budayawan yang sangat mengenal baik sepak terjang Henk Ngantung, sebagai Dirjen Kebudayaan yang baru. Namun, tidak seberuntung Bung Karno yang dapat menunjuk sendiri Gubernur untuk Ja(ya)karta, Jokowi terpaksa menyerahkan posisi tersebut kepada seorang Ahok, mantan wakilnya.

Ahok jelas bukan sosok yang diharapkan Jokowi untuk menjauhkan Ja(ya)karta dari macet, bising, dan kumuh. Tidak seperti Jokowi yang sederhana: tinggal di rumah dinas semasa menjabat; yang berempati: sering (sampai sekarang) memberikan sembako bagi rakyat miskin, mengajak makan siang masyarakat korban gusuran yang mendemonya; dan yang gemar keindahan, Ahok adalah seorang politisi yang elitis: tinggal bertetangga dengan taipan-taipan di komplek mewah, yang dibangun di atas tanah reklamasi di pantai utara Ja(ya)karta; “neofasis”: sering memaki-maki masyarakat miskin, menuduh korban gusuran yang mendemonya sebagai komunis, bahkan mengancam hendak mengisi mobil water canon pembubar demonstrasi dengan bensin; dan yang pasti bukan penggemar keindahan.

Ahok juga sebenarnya penghambat program kebanggaan Jokowi, membangun Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang salah satu pilarnya adalah mensejahterakan kaum nelayan (yang 16 juta kaumnya merupakan masyarakat termiskin di Indonesia). Dengan gaya “neofasis”nya yang khas, Ahok seenaknya menggusur ratusan keluarga yang sebagian besarnya merupakan nelayan di Kampung Aquarium, kawasan Sunda Kelapa dengan alasan “palsu” demi Wisata Bahari Sunda Kelapa katanya.

Karena kita paham sekali, Ahok tidak berminat mengembangkan pariwisata di sekitar lokasi tersebut karena dirinya pernah berkata akan menyerahkan penataan kawasan wisata Sunda Kelapa kepada Menko Maritim Rizal Ramli (kira-kira di akhir tahun lalu, jauh sebelum mereka berseteru karena soal reklamasi Pulau G saat ini) yang memang memiliki program pengembangan Destinasi Wisata Kota Tua- Kepulauan Seribu dengan Sunda Kelapa sebagai hub-nya.

Saya haqul yakin bila Menko Rizal Ramli yang diserahkan urusan penataan Sunda Kelapa, pasti akan jauh lebih beradab, penuh empati, dan rasa keadilan, karena memang karakter Menko yang satu ini juga banyak miripnya dengan Jokowi.

Lalu apa alasan sebenarnya Ahok melakukan penggusuran di Sunda Kelapa? Kemungkinan besar jawabannya adalah: untuk membantu pengembang Agung Podomoro mereklamasi Pulau G! Dalam surat keputusan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Boby Mamahit (yang bersangkutan sejak Februari 2016 sudah menjadi tahanan karena kasus korupsi) pada 11 Agustus 2015 –tepat sehari sebelum Menko Maritim Rizal Ramli dilantik masuk Kabinet Jokowi 12 Agustus 2015- disebutkan, dalam poin (2) menimbang, bahwa: dalam rangka penyediaan Pulau G di kawasan Pantai Utara Jakarta, PT Muara Wisesa Samudera (Grup Agung Podomoro) akan melaksanakan pekerjaan Reklamasi di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Sunda Kelapa.

Ahok, yang tidak risih dijuluki publik sebagai “Gubernur Podomoro”, tampak biasa saja mengorbankan rakyat miskin demi kepentingan laba perusahaan milik Triatma Haliman ini- yang ternyata juga para petinggi Podomoro merupakan tetangga Ahok di kompleks perumahan mewah di Utara Ja(ya)karta. Terlepas dari mereka bertetangga, Ahok pasti lebih membela “kelas”-nya sesama elit pengusaha daripada harus susah-susah memikirkan perbaikan nasib nelayan Sunda Kelapa yang keberadaan kampung kumuh mereka mengganggu aktivitas wilayah kerja Podomoro di Sunda Kelapa. Apalagi Podomoro juga sudah mengucurkan uang ratusan miliar dari kantong perusahaan untuk membiayai sebanyak 13 proyek pembangunan di Kota Ja(ya)karta sesuai keinginan Ahok, tanpa melalui proses resmi penganggaran di DPRD yang sesuai perundangan Keuangan Negara (2003) dan Perbendaharaan Negara (2004).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun