"Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku."
"Jangan!"
"Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?" larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu.
"Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis."
"Kurang ajar!" sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu.
"Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu." Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius.
"Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana."
"Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nanti-nanti saja."
"Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu."
"Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?" Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan.
"Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa."