Pendekatan hermeneutik Dilthey juga menekankan pentingnya konteks historis dan budaya dalam akuntansi. Setiap keputusan akuntansi tidak muncul dalam ruang hampa; ia dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, regulasi, nilai sosial, dan budaya organisasi. Misalnya, interpretasi terhadap suatu transaksi bisa berbeda antara perusahaan keluarga yang masih memegang tradisi nilai-nilai lokal dan perusahaan multinasional yang beroperasi dengan standar global. Angka-angka yang sama bisa memiliki makna berbeda bagi pihak-pihak yang berbeda, tergantung pada latar belakang, pengalaman, dan tujuan mereka.
Lebih jauh lagi, hermeneutika membuka perspektif baru terhadap penilaian kinerja dan pengambilan keputusan. Analisis laporan keuangan tidak sekadar membaca rasio atau tren, tetapi juga menafsirkan motivasi, strategi, dan kebijakan manajemen yang mencerminkan visi dan misi organisasi. Dengan kata lain, akuntansi menjadi ilmu yang hidup, di mana angka-angka adalah simbol yang perlu dipahami dalam konteks manusia dan masyarakat.
Dengan demikian, perspektif Dilthey mengubah cara pandang terhadap akuntansi: dari ilmu yang teknis dan mekanis menjadi ilmu kehidupan. Akuntansi bukan hanya tentang menghitung dan mencatat, tetapi juga tentang memahami manusia, nilai-nilai yang mereka pegang, dan cerita yang mereka ciptakan melalui aktivitas ekonomi. Setiap laporan keuangan adalah teks yang kaya makna, yang membutuhkan pendekatan hermeneutik untuk menafsirkan kisah di balik angka. Dalam kerangka ini, akuntansi menjadi sarana untuk memahami eksistensi manusia dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya, sebuah ilmu yang memadukan angka dengan makna, transaksi dengan nilai, dan dokumentasi dengan etika.
Why: Mengapa Akuntansi Perlu Ditafsirkan Secara Hermeneutik
Akuntansi selama ini sering dipahami melalui kacamata positivistik: objektif, netral, dan bebas nilai. Paradigma ini menekankan bahwa laporan keuangan adalah cerminan langsung dari realitas ekonomi, yang bisa diukur, diverifikasi, dan dianalisis dengan angka. Dalam pandangan positivistik, akuntansi bersifat mekanis: angka berbicara sendiri, dan profesional akuntansi dianggap sebagai teknisi yang hanya mencatat fakta ekonomi tanpa intervensi nilai atau interpretasi.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, setiap angka yang muncul dalam laporan keuangan sesungguhnya adalah hasil keputusan manusia. Setiap keputusan akuntansi, mulai dari pengakuan pendapatan, penentuan metode penyusutan, hingga pengakuan kerugian itu selalu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, dan interpretasi individu maupun organisasi. Angka-angka tidak lahir secara otomatis; mereka adalah representasi dari pilihan, pertimbangan moral, dan konteks sosial. Dengan kata lain, laporan keuangan bukan sekadar deskripsi objektif, tetapi juga narasi kehidupan ekonomi manusia.
Di sinilah hermeneutika menjadi penting. Hermeneutika mengembalikan dimensi kemanusiaan ke dalam akuntansi. Ia mengingatkan bahwa akuntansi bukan hanya produk rasional atau teknis, tetapi juga produk kultural dan historis. Akuntansi lahir dari masyarakat, berkembang bersama nilai-nilai sosial, dan berfungsi untuk menjaga kepercayaan antar manusia. Tanpa memahami konteks sosial dan nilai-nilai yang melandasi praktik akuntansi, interpretasi angka dapat kehilangan makna sejatinya.
Sebagai contoh konkret, keputusan seorang akuntan dalam menentukan metode penyusutan aset tetap bukan hanya soal efisiensi pajak atau kepatuhan terhadap standar akuntansi, tetapi juga mencerminkan pertimbangan moral, ekspektasi manajemen, dan visi strategis organisasi. Begitu pula, keputusan menunda pengakuan kerugian atau menyesuaikan estimasi cadangan kerugian piutang adalah tindakan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga mengandung penilaian etis: apakah tindakan ini adil bagi investor, kreditor, dan pemangku kepentingan lainnya? Angka tidak berbicara sendiri; ia berbicara melalui manusia yang menafsirkannya.
Wilhelm Dilthey menekankan bahwa manusia hidup dalam Lebenswelt yaitu dunia kehidupan yang dipenuhi nilai, makna, dan sejarah. Dunia ini tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh data empiris, karena di dalamnya ada rasa, kesadaran, moralitas, dan pengalaman subyektif. Dalam konteks ini, akuntansi tidak sekadar sistem teknis untuk menghitung laba rugi atau aset, tetapi juga menjadi cermin kehidupan ekonomi manusia, yang merefleksikan aspirasi, tanggung jawab, dan nilai-nilai sosial.
Contoh nyata memperjelas hal ini:
- Di pasar tradisional, laba bukan hanya angka; ia adalah rezeki yang disyukuri, hasil kerja keras, dan simbol tanggung jawab terhadap keluarga dan komunitas.
- Di perusahaan modern, laba sering menjadi ukuran legitimasi, kepercayaan investor, dan daya saing di pasar global. Keputusan akuntansi di sini sering menyeimbangkan kepentingan finansial dengan reputasi dan transparansi.
- Dalam ekonomi syariah, laba dipahami bukan sekadar hasil usaha, tetapi juga sebagai keseimbangan antara keberhasilan materi dan keberkahan moral. Praktik akuntansi syariah menekankan etika, keadilan, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian integral dari laporan keuangan.
Dari ketiga contoh ini terlihat bahwa makna laba tidak pernah tunggal. Ia selalu bergantung pada nilai, tujuan, dan konteks sosial yang melingkupinya. Dengan pendekatan hermeneutik, akuntansi menjadi sarana untuk menafsir makna-makna ini, bukan sekadar menghitung hasilnya. Hermeneutika juga membantu menyeimbangkan antara rasionalitas dan moralitas. Dalam dunia bisnis yang sering mengutamakan efisiensi, pertumbuhan, dan keuntungan, akuntansi hermeneutik mengingatkan bahwa keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari laba besar, tetapi juga dari integritas, tanggung jawab sosial, dan keadilan dalam praktik bisnis.