Malam itu, kami bertiga duduk mengelilingi haza lika, mencari kehangatan di tengah hawa dingin Bajawa yang menggigit. Aroma daging babi panggang masih menyeruak, menyaingi aroma tua bhara yang sejak tadi belum habis. Kami bertiga sudah setengah sadar.
"Jao malam ini tidur di sini la." Son, kawan saya bergumam.
"Kenapa la?" tanya Hendra, si tuan rumah.
"Jao takut lewat di Bhetokeli la."
"Di mana Bhetokeli?" saya penasaran.
"Itu, di hutan bambu, sebelum masuk Mataloko. Angker la di situ."
Saya terdiam. Bukan karena takut, tapi bahwa angkernya hutan bambu sudah bukan rahasia lagi, termasuk di daerah asal saya Maumere.Â
Namun, saya percaya bahwa ada suatu hal positif yang terselubung di balik cerita-cerita mistis itu. Di balik keangkeran dan mitos masyarakat lokal tentang hutan bambu, tanpa disadari, ada satu kehidupan yang diam-diam tumbuh dalam kesunyian. Yah, sesunyi hutan bambu itu sendiri.
***
Saya mengamini bahwa bambu, babi, dan moke, untuk masyarakat Flores pada umumnya, adalah sesuatu yang istimewa. Ketiganya bukan barang biasa, tetapi telah menyentuh aspek kultural masyarakat lokal yang diwariskan turun-temurun. Mereka mudah ditemukan, tetapi bernilai tinggi. Mereka sederhana, tetapi sakral.