Dalam dunia hiburan, tidak jarang satu kalimat dalam sebuah adegan drama bisa memicu gelombang tren yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah kalimat “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid” dari drama Malaysia berjudul *Bidaah*. Kalimat ini awalnya muncul dalam momen emosional dalam cerita, namun kini telah menjelma menjadi fenomena budaya yang merambah berbagai platform media sosial, terutama TikTok.
Kalimat tersebut diucapkan dalam konteks serius dalam drama, menunjukkan kerinduan atau hubungan batin dengan sosok bernama Walid. Namun, ketika sampai ke tangan warganet, kalimat ini diubah menjadi format yang lebih fleksibel, lucu, dan bahkan reflektif. Banyak pengguna media sosial mulai membuat video dengan format yang sama: mereka memejamkan mata, lalu muncul gambar wajah seseorang yang mereka bayangkan sebagai "Walid". Kadang sosok itu benar-benar merujuk ke karakter drama, kadang justru tokoh acak yang tak terduga. Dari sinilah tren itu tumbuh—dari kesederhanaan dan ruang untuk berimajinasi.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya peran media sosial dalam menciptakan makna baru dari sebuah karya fiksi. Adegan yang awalnya dimaksudkan sebagai bagian dari cerita kini menjadi bahan hiburan, canda, bahkan ekspresi personal. Ini adalah bentuk interaksi yang unik antara penonton dan karya, di mana penonton tidak lagi hanya menerima cerita, tetapi ikut menciptakan kembali versi mereka sendiri.
Sosok Walid dalam drama digambarkan sebagai pria dewasa yang bijak dan berwibawa. Dengan pakaian tradisional dan raut yang penuh ketenangan, karakter ini mudah diingat dan dijadikan simbol oleh penonton. Dalam tren ini, ia berubah menjadi semacam figur yang bisa ditafsirkan secara bebas. Ada yang menjadikannya sebagai sosok ayah, guru, idola, atau bahkan parodi dari tokoh terkenal lainnya. Di sinilah terlihat bahwa batas antara fiksi dan kenyataan semakin kabur di era digital.
Tren ini juga memperlihatkan sisi lain dari masyarakat digital: bagaimana satu adegan bisa menjadi cermin bagi banyak orang. Ada yang memakainya sebagai ajang bercanda, ada pula yang menjadikannya sebagai ruang untuk mengenang seseorang yang penting dalam hidup mereka. Imajinasi kolektif pun terbentuk, dan Walid pun hadir bukan hanya dalam drama, tapi juga di dalam pikiran banyak orang yang mengikuti tren ini.
Pada akhirnya, “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid” bukan hanya soal viralitas. Ia adalah contoh bagaimana cerita, tokoh, dan media sosial bisa saling berinteraksi dan menciptakan makna yang melampaui niat awal penciptaannya. Di era di mana semua orang bisa menjadi bagian dari narasi, hal-hal sederhana pun bisa menjadi luar biasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI