Mohon tunggu...
Maria Tri Handayani
Maria Tri Handayani Mohon Tunggu... -

mantan mahasiswa | none stop learning

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Etika dalam Jurnalisme Online Masa Kini

12 April 2013   07:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:20 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di era globalisasi ini internet bisa dibilang semakin tidak bisa dipisahkan dari keseharian masyarakat. Demikian pula yang terjadi dengan masyarakat di Indonesia pada umumnya. Meski konsumsi media televisi oleh masyarakat Indonesia selama 2012 masih memimpin dengan 94% dari total populasi, ternyata pengguna Internet meningkat menjadi 30% dibandingkan tahun lalu yang hanya 26% (Bisnis.com, 11/4/2013). Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pengguna internet di Indonesia pada 2012 mencapai 63 juta orang atau sekitar 24,53 persen dari jumlah penduduk Indonesia (antaranews.com, 4/11/2013).

Hasil survei tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesiat tergolong kepada pengguna internet aktif. Internet masih menarik minat dan perhatian kebanyakan masyarakat kita, sehingga penggunaan internet cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2013, menurut perkiraan APJII, pengguna internet di Indonesia akan mencapai 82 juta atau 30 persen dari jumlah pengguna pada 2012, pada 2014 mencapai 107 juta, dan pada 2015 mencapai 139 juta (antaranews.com, 11/4/2013).

Kehadiran internet tentunya secara tidak langsung memberikan pengaruh pada berbagai hal dalam kehidupan masyarakat, termasuk pada perkembangan dunia jurnalisme yakni lewat jurnalisme online dalam bentuk media online. Pada prinsipnya, media online hampir sama dengan media konvensional lainnya seperti media cetak maupun media elektronik. Hanya saja, dengan adanya internet memberikan keunggulan tersendiri. Internet memungkinkan baik jurnalis maupun pembaca untuk melakukan apa yang mereka lakukan sebelumnya (misalnya mengakses informasi), secara lebih cepat dan lebih luas (Ward, 2002:27).

Salah satu keunggulan dari internet adalah melampaui kemampuan dari karakteristik media konvensional lainnya. Internet mampu menawarkan kemampuan dalam menciptakan interaktivitas antar pengguna. Pavlik (2001:3) menyebutkan: “ The internet not only embraces all the capabilities of the older media (text, images, graphics, animation, audio, video, real-time delivery) but offers a broad spectrum of new capabilities, inluding interactivity, on-demand access, user control, and customization”. Karakteristik internet seperti inilah yang memberi keuntungan pada media-media online karena hal inilah yang membuat pengguna media konvensional kini mulai beralih kepada media online.

Dengan adanya jurnalisme online kini penyebaran berita atau informasi seakan melewati batasan ruang dan waktu. Berita dapat disebarkan dengan lebih cepat dan dapat diakses kapanpun dengan mudah. Hal ini wajar karena jurnalisme online menerapkan prinsip annotative journalism. Tinggal meng-klik suatu kata, kita bisa mendapatkan informasi sebanyak yang tersedia (Ishwara, 2011:73). Sehingga untuk mengikuti suatu peristiwa yang baru terjadi, kita dapat dengan mudah mengikuti jalan ceritanya dengan mengetikkan keyword di portal berita yang kita akses.

Serba Cepat, Etika Jurnalistik Terabaikan

Namun, kemunculan media online dengan keunggulannya bukan berarti tidak memiliki kekurangan. Masih tingginya penggunaan internet dan kebutuhan masyarakat akan infomasi yang cepat membuat media online kini berlomba-lomba muncul. Persaingan ini tentunya tak lepas dari persaingan bisnis. Masing-masing media online berupaya menarik pengguna internet untuk mengunjungi situs web medianya. Tak jarang akhirnya pihak media online justru hanya berfokus pada cara atau metode yang dapat menarik semakin banyak pengunjung halaman portal beritanya.

Salah satu cara masing masing media online bisa bersaing  adalah dengan berupaya menjadi yang tercepat memberikan informasi. Peristiwa  yang sedang berlangsung berlomba-lomba disampaikan kepada publik setiap detik perkembangannya. Disadari atau tidak, sayangnya hal ini justru memiliki dua sisi yang berbeda dari jurnalisme online. Di satu sisi menjadi kelebihan, namun di satu sisi bisa menjadi kekurangan. Kelebihan, karena pengguna media online dapat mengakses informasi teraktual dengan cepat. Kekurangan, karena tak jarang jurnalis media online justru lupa akan etika dari jurnalisme online sendiri.

Akhirnya, tak jarang media online justru mem-publish berita yang tidak akurat atau berimbang. Dari 500  kasus pengaduan terkait pers dari seluruh Indonesia yang masuk ke Dewan Pers sepanjang 2012, 98 di antaranya terkait media online alias media siber dan 76 persen dari pengaduan yang terkait media online adalah pelanggaran kode etik ( tempo.co, 10/4/2013).

Dari data yang dilansir dalam tempo.co tersebut diketahui ada enam jenis pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media siber yang diadukan ke Dewan Pers. Antara lain, media siber tidak menguji infomasi (30 kasus), berita tidak akurat (30 kasus), mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi (17 kasus), tidak berimbang (10 kasuss), tidak menyembunyikan idenitas korban kejahatan susila (tiga kasus), dan tidak jelas narasumbernya (1 kasus). Hal ini menjadi bukti bahwa masih ada jurnalis online yang tidak memegang kode etik jurnalistik.

Selain itu, ketika media online berusaha menarik perhatian pengunjung internet, tak jarang mereka justru mengandalkan pada judul-judul berita yang sensasional. Padahal dalam kode etik jurnalitik PWI dijelaskan pada pasal 3 bahwa wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, sera suara dan gambar) yang menyesatkan, memutarblikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional. Ketika pengguna internet membuka media online yang menentukan penggguna internet akan membuka atau terus melanjutkan pencarian informasinya di media tersebut adalah pada judul berita. Judul berita dengan kata-kata hiperbola terkadang justru tidak berkaitan dengan isi berita dan terkadang justru menyudutkan subjek pemberitaan.

Masih jelas dalam ingatan kita, pada saat kasus tabrakan karena mengemudi saat mabuk yang menimpa Novi Amelia. Pada saat kasus ini tengah menjadi perbincangan banyak artikel yang muncul di media online justru menggunakan kata-kata pada judul yang sebenarnya tidak berhubungan dengan kasus. Judul berita ini misalnya; Gara-gara Obat Ini si Seksi Berani Bugil di Jalanan. Media online seringkali membubuhkan label-label tertentu pada subjek pemberitaan yang tanpa disadari membuat subjek pemberitaan justru menjadi korban dalam pemberitaan tersebut.

Tak hanya jurnalisme sensitif gender, beberapa jurnalis media online juga tidak memegang jurnalisme empati dalam pemberitaanya. Embel-embel kata yang sering disematkan di judul seperti kata duh!,Ih! atau wow!,misalnya justru memberikan makna lain yang terkadang terkesan menghakimi atau menyudutkan subyek pemberitaan. Misalnya pada judul berita Duh! Foto-foto Pemerkosaannya Menyebar Luas, Gadis Kanada Gantung Diri. Kesan yang timbul dari judul seolah tidak berempati pada korban. Padahal dengan penempatan judul yang sensasional dan tidak sesuai isi bisa berakibat pada pembaca. Pembaca bisa saja merasa dibohongi karena tidak sesuai dengan isi. Bisa juga salah mengerti karena hanya membaca judul berita yang tertera.

Pada dasarnya jurnalisme online dan jurnalisme media konvensional sama saja, sama-sama mendasarkan pada kode etik jurnalistik. Serba cepat bukan berarti melegalkan jurnalis media online untuk mengabaikan kode etik jurnalistik yang ada. Dalam jurnalisme online sendiri juga sudah ada pedoman pemberitaan media siber yang dibentuk oleh Dewan Pers. Sehingga tak jadi alasan untuk tidak memperhatikan etika penulisan berita bagi jurnalis online.  Sebagai media yang diakses oleh banyak orang, maka media online memiliki potensi untuk memberikan dampak pada orang banyak. Oleh karena itu, akan lebih bijak bila jurnalis media online tetap berpegang pada kode etik jurnalistik dalam menulis berita agar nantinya justru tidak merugikan para pengakses media online tersebut.

Daftar Pustaka:

Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Pavlik, John V. 2001. Journalism and New Media. New York: Columbia University Press

Ward, Mike. 2002. Journalism Online. Focal Press

“Pengguna Internet Indonesia 2012 capai 63 juta orang “http://www.antaranews.com/berita/348186/pengguna-internet-indonesia-2012-capai-63-juta-orang, (diakses pada 11 April 2013)

“SURVEI NIELSEN: Pengguna Internet Indonesia Capai 30%”.http://www.bisnis.com/m/survei-nielsen-pengguna-internet-indonesia-capai-30 (diakses pada 11 April 2013)

“Jurnalisme Online Sering Dinilai Tak Serius”. http://www.tempo.co/read/news/2013/03/12/173466520/Jurnalisme-Online-Sering-Dinilai-Tak-Serius (diakses pada 10 April 2013)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun