Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Pediatrician

Ibu rumah tangga dan dokter spesialis anak. https://healthykiddo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengunjungi Masa Lalu di Candi Prambanan

16 Juni 2016   15:18 Diperbarui: 17 Juni 2016   00:02 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 11. Candi Bubrah, masih bubrah (= berantakan) (foto: doc. Pribadi)

Sekitar akhir Maret kemarin saya memiliki waktu yang agak longgar. Waktu itu saya gunakan untuk berkunjung ke salah satu candi yang membuat saya penasaran: candi Prambanan. Dulu saya pernah ke candi ini saat masih SD tingkat bawah (kalau tidak kelas 1 ya kelas 2). Ingatan yang tersisa adalah: gelap dan bau. Hehe.. mungkin kami pergi di waktu malam dan mungkin baunya berasal dari kotoran kelelawar yang bersarang di sana. Tapi itu dulu.

Kali ini saya berangkat sendiri naik bus Trans Yogya. Enaknya naik bus ini adalah sekali naik hanya membayar Rp 3.500,00 tidak peduli berapa kali ganti bus pun. Mungkin suatu saat saya akan menulis tentang pengalaman jalan-jalan dengan bus ini. Saya naik dari halte depan RS Sardjito, “Ke Prambanan”. Pertama petugas meminta saya naik bus no 3B kemudian turun di halte yang ditunjukkan dan berganti ke bus 1A yang “arah Prambanan”.

Suasana di bus cukup lowong. Setidaknya saya masih bisa duduk. Memang saat itu bukan jam sibuk, kalau tidak pasti sudah berdesak-desakan bahkan ditolak masuk. Saya cukup menikmati pemandangan Yogya dari atas bus.

Gambar 2: Naik bus Trans Yogya, lowong. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 2: Naik bus Trans Yogya, lowong. (foto: doc. Pribadi)
Ketika naik di bus kedua yang membawa ke candi Prambanan, saya mendengar percakapan yang cukup menarik antara 2 orang kakek-kakek, satu orang bule dan satu lagi Jawa. Ternyata kakek Jawa yang memakai sandal jepit, tongkat, sarung dan berkaos oblong itu cukup fasih berbahasa Inggris. Mungkin karena Yogyakarta sudah lama jadi kota pariwisata ya? Saya sendiri jadi ingat buku-buku berbahasa Belanda milik kakek saya yang tidak bisa saya baca. Kakek saya produk sekolah jaman Belanda, jadi meskipun tidak bersekolah tinggi, beliau bisa berbahasa Belanda. Dari percakapan dua kakek beda benua itu, saya jadi tahu bahwa kakek bule berusia 76 tahun dan sedang liburan sedangkan kakek Jawa berusia 72 tahun dan sedang pulang ke rumahnya. Dari penampilan fisik, kakek Jawa terlihat jauh lebih tua. Mungkin karena pekerjaannya lebih berat? Ah, entahlah.

Kembali ke perjalanan saya dan tinggalkan dua kakek beda benua tadi mengobrol. Akhirnya bus kami sampai di terminal Prambanan. Tempat pemberhentian akhir sehingga semua penumpang, termasuk saya harus turun. Terminalnya kecil sekali, hanya ada satu pemberhentian bus Trans Yogya dan lapangan yang tidak seberapa luas. Mungkin bus yang berhenti di tempat ini adalah bus-bus kecil dan angkutan kota. Awalnya saya mengira candi Prambanan sudah dekat, karena toh nama tempat ini sudah Prambanan (ternyata Prambanan adalah nama desa tempat candi tersebut berada), tapi mengapa ada tukang ojek yang menawarkan jasa untuk mengantar ke candi?

Dasar pelit, saya memutuskan untuk berjalan kaki. Sebagian keputusan ini disebabkan oleh karena telah melihat pagar candi Prambanan di seberang terminal tersebut. Keputusan yang tidak terlalu baik, kecuali memang ingin berolahraga. Ternyata pagar tanaman itu panjang sekali. Kita tidak dapat masuk begitu saja dari seberang terminal. Harus berjalan cukup jauh, dari pagar hijau lalu pagar berganti menjadi pagar besi tapi masih belum menemukan jalan masuk. Kalau saya perkirakan, panjangnya jalan di sisi pagar itu dapat mendekati 1 kilometer. Jarak yang cukup jauh, terutama jika kita berjalan di siang hari yang terik.

Gambar 3: Sebagian jalan yang harus dilewati sebelum menemukan pintu masuk bagi pengunjung. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 3: Sebagian jalan yang harus dilewati sebelum menemukan pintu masuk bagi pengunjung. (foto: doc. Pribadi)
Akhirnya saya menemukan pintu masuk pengunjung yang pejalan kaki. Perlu digarisbawahi tulisan pejalan kaki, sebab jika kita masuk menggunakan kendaraan seperti motor, mobil, dan bus, pintu masuknya akan lebih jauh lagi. Sambil menarik napas lega saya memasuki pelataran candi.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah membeli tiket masuk. Harga tiketnya Rp 30.000,00 untuk turis domestik dewasa seperti saya. Harga tiket untuk turis mancanegara lebih mahal, tapi saya lupa berapa. Ada harga yang berbeda untuk anak-anak. Di loket, kita akan ditawari apakah mau membeli tiket di kawasan candi Prambanan saja atau berlanjut ke candi Roro Jonggrang. Jika mengambil paket terusan, nantinya kita akan naik semacam shuttle bus ke tempat tersebut. Mengingat saya datang sudah relatif siang, saya memutuskan untuk hanya berputar-putar di candi Prambanan.

Gambar 4. Tiket masuknya yang berwarna hijau, nantinya dimasukan ke pintu otomatis menuju candi. Buku yang di belakang saya beli dari penjaja keliling seharga Rp 10.000,00. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 4. Tiket masuknya yang berwarna hijau, nantinya dimasukan ke pintu otomatis menuju candi. Buku yang di belakang saya beli dari penjaja keliling seharga Rp 10.000,00. (foto: doc. Pribadi)
Di loket ini kita juga akan ditawari apakah akan menggunakan jasa pemandu wisata atau tidak. Tarifnya jelas diberitahukan. Sebenarnya asyik juga menggunakan jasa pemandu wisata jika kita pergi berkelompok, tapi karena saya adalah lone traveler, saya memutuskan untuk berjalan sendirian saja. Ada peta taman wisata yang dapat mempermudah perjalanan bagi pelancong seperti saya. Tidak jauh dari situ terdapat papan berisi tulisan dan foto yang menerangkan bahwa kawasan candi ini telah mengalami pemugaran ulang pasca gempa Yogya tahun 2007 lalu.

Gambar 5. Lihat peta dulu agar tidak tersesat (foto: doc. Pribadi)
Gambar 5. Lihat peta dulu agar tidak tersesat (foto: doc. Pribadi)
Akhirnya saya benar-benar masuk di pelataran candi. Pemandangan pertama candi bagi saya seperti foto paling atas di bawah judul artikel ini. Megah. Agak merinding juga membayangkan bagaimana bangunan seperti ini dibangun di masa lalu. Tidak salah kalau candi Prambanan menjadi salah satu warisan budaya Unesco.

Mendekat ke arah candi, saya berusaha untuk fokus pada ukir-ukiran yang ada. Konon jika kita berkonsentrasi pada ukiran yang ada kita akan seperti mengadakan perjalanan spiritual. Ukiran di bagian paling bawah candi mengambarkan keadaan di dunia bawah, lantai 1 dunia manusia, dan yang atas nirwana. Meskipun berusaha berkonsentrasi, tetap saja saya tidak tahu apa arti ukiran di depan saya. Buku seharga Rp 10.000,00 yang tadi saya beli memberitahukan beberapa informasi seperti nama makhluk yang diukir pada candi dan garis besar cerita yang terukir di ketiga candi utama. Namun tetap saja tidak memberikan informasi sebanyak yang saya inginkan. Memang benar bahwa ada harga ada rupa.

Gambar 6. Salah satu ukiran di bagian dasar candi. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 6. Salah satu ukiran di bagian dasar candi. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 7. Ukiran lain di dasar candi yang memperlihatkan pohon Kalpataru dan Kinari-Kinara, makhluk serupa burung berkepala manusia. (foto: doc. Pribadi)
Gambar 7. Ukiran lain di dasar candi yang memperlihatkan pohon Kalpataru dan Kinari-Kinara, makhluk serupa burung berkepala manusia. (foto: doc. Pribadi)
Konon, ukiran itu digambar oleh pendeta lalu diukir oleh seniman, sedangkan candinya sendiri dibangun oleh pekerja. Selain kecantikan detil tiap ukiran, kemegahan candi sendiri menjadi pemandangan yang menakjubkan. Terdapat 3 candi utama di komplek Prambanan yaitu candi Brahmana, candi Shiva (terbesar) dan candi Wisnu. Masing-masing dengan candi kecil di depannya yang dinamakan sesuai dengan hewan tunggangan masing-masing dewa. Candi Shiva adalah yang paling besar karena Shiva merupakan dewa terbesar bagi agama Hindu yang dulu berkembang di pulau Jawa.

Gambar 8. Kemegahan candi Shiva, yang terbesar dari ketiga candi besar di komplek Prambanan (foto: doc. Pribadi)
Gambar 8. Kemegahan candi Shiva, yang terbesar dari ketiga candi besar di komplek Prambanan (foto: doc. Pribadi)
Gambar 9. Pemandangan dari lantai 2 candi Shiva ke candi Brahmana
Gambar 9. Pemandangan dari lantai 2 candi Shiva ke candi Brahmana
Setelah capek naik turun dan mengelilingi ketiga candi besar dan tiga candi pendampingnya, saya menyangka perjalanan hari ini telah selesai. Ternyata saya salah. Masih ada 3 candi Budha yang dapat dikunjungi di komplek ini, letaknya ke arah utara dari candi Prambanan. Ketiganya adalah candi Lumbung, candi Bubrah, dan candi Sewu. Jika capai berjalan, kita dapat menyewa sepeda dan melintasi track khusus yang disediakan. Dapat pula naik semacam kereta kelinci yang tentunya akan sangat menghemat tenaga.

Gambar 10. Kompleks candi Lumbung (foto: doc. Pribadi)
Gambar 10. Kompleks candi Lumbung (foto: doc. Pribadi)
Gambar 11. Candi Bubrah, masih bubrah (= berantakan) (foto: doc. Pribadi)
Gambar 11. Candi Bubrah, masih bubrah (= berantakan) (foto: doc. Pribadi)
Gambar 11. Candi Bubrah, masih bubrah (= berantakan) (foto: doc. Pribadi)
Gambar 11. Candi Bubrah, masih bubrah (= berantakan) (foto: doc. Pribadi)
Maafkan ketiga gambar candi Budha tersebut yang lebih mirip siluet. Kamera handphone sederhana saya tidak mampu melawan teriknya sinar matahari. Menurut saya, berjalan-jalan ke komplek Prambanan harus menggunakan sepatu yang nyaman, pakaian yang longgar (biar tidak gerah), sunblock agar tidak terpanggang matahari, topi lebar atau payung (terserah mau yang mana, kalau saya sih pakai payung), dan banyak minuman dingin. Kalau tidak, keasyikan berkeliling akan terganggu oleh haus yang datang.

Setelah mengelilingi semua candi di komplek candi Prambanan, barulah saya menemukan apa yang (menurut saya) seharusnya saya lihat sebelum masuk ke komplek candi: museum. Kenapa museum? Karena museum ini bercerita lebih lengkap tentang sejarah dan detil dari patung-patung yang tadi saya lihat di candi. Mengapa patung betari Durga disebut juga Roro Jonggrang, dan sebagainya. Diceritakan juga bagaimana awalnya kawasan candi ini “ditemukan” orang Belanda dan dilakukan pemugaran untuk pertama kalinya. Ada gambar yang cantik tentang proses pemugaran itu. Dalam museum ini juga ada contoh mata uang dari masa lalu. Salah satunya kepingan uang emas. Jika selama ini saya mengira uang emas itu besar (seperti di cerita pak Janggut dan sebagainya), pada kenyataanya kepingan uang emas yang dipajang sangatlah kecil. Bisa jatuh jika tidak hati-hati.

Gambar 13. Mata uang dari masa lalu. Uang emas terletak paling kiri. Bandingkan ukurannya dengan mata uang Cina di sebelah kanan (foto: doc. Pribadi)
Gambar 13. Mata uang dari masa lalu. Uang emas terletak paling kiri. Bandingkan ukurannya dengan mata uang Cina di sebelah kanan (foto: doc. Pribadi)
Satu lagi yang membuat sebaiknya kita datang ke museum dulu sebelum mengelilingi candi: ada ruang audiovisual. Dengan membayar Rp 5.000,00 per orang (atau bayar 2x tiket jika Anda sendirian dan tidak ada orang lain yang berencana menonton bersama Anda) kita dapat melihat tayangan berdurasi 30 menit tentang Candi Prambanan, cerita di baliknya dan filosofi yang ada. Dengan demikian saat berkeliling candi kita bisa tahu cerita apa saja  yang tergambar dalam ukiran-ukirannya. Ada salah satu ukiran yang menurut saya kok agak “saru” (porno) tapi ternyata setelah diterangkan di ruang audiovisual ini maknanya berbeda jauh dengan penangkapan saya di bawah sinar matahari tadi.

Gambar 14. Ini cuplikan yang saya maksudkan (foto: doc. Pribadi)
Gambar 14. Ini cuplikan yang saya maksudkan (foto: doc. Pribadi)
Ruang audiovisual merupakan hal terakhir yang saya kunjungi di komplek Candi Prambanan. Sebelum akhirnya saya membeli minuman dingin karena tidak kuat lagi akan panasnya matahari Yogya (eh, Yogya atau Jawa Tengah ya? Sebab komplek ini terletak di perbatasan propinsi, sebagian ikut Yogya, sebagian di Jawa Tengah). Lain kali jika berkunjung ke Yogya, jangan lupa main-main ke Candi Prambanan. Salam.

Gambar 15. Selfie dulu, karena no picture = hoax! (foto: doc. Pribadi)
Gambar 15. Selfie dulu, karena no picture = hoax! (foto: doc. Pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun