Mohon tunggu...
Maria Krisensia Beto Lebuan
Maria Krisensia Beto Lebuan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa yang ingin belajar terkait dengan dunia politik dan isu-isu yang ada di indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Kolaborasi Pemerintah Provinsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Penanganan Stunting di NTT""

11 Oktober 2025   13:33 Diperbarui: 11 Oktober 2025   13:33 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

            Masalah stunting masih menjadi tantangan besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di wilayah yang dikenal dengan kondisi geografis yang kering dan keterbatasan akses pangan ini, kerja sama antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi faktor kunci dalam menanggulangi persoalan gizi buruk kronis tersebut. Kolaborasi lintas sektor ini mencerminkan bagaimana prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) diterapkan di lapangan, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, dan keadilan. Pemerintah berperan sebagai penyedia layanan publik dan pengatur kebijakan, sementara LSM berfungsi sebagai fasilitator melalui pendekatan pemberdayaan dan edukasi masyarakat. Namun, dinamika di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program masih menghadapi kendala, seperti minimnya transparansi dalam penggunaan anggaran serta keterbatasan akses data bagi masyarakat dan mitra LSM. Kondisi ini sering kali membuat akuntabilitas program tidak berjalan maksimal. Karena itu, diperlukan mekanisme pemantauan bersama agar masyarakat dan LSM dapat turut mengawasi jalannya program, sehingga tata kelola publik menjadi lebih terbuka dan partisipatif.

            Dalam perspektif jejaring kolaboratif, hubungan antara pemerintah dan LSM idealnya dibangun atas dasar kesetaraan dan saling melengkapi. Pemerintah memiliki otoritas resmi dan sumber daya finansial yang kuat, sedangkan LSM memiliki keahlian teknis, jaringan sosial di akar rumput, serta fleksibilitas dalam pendekatan berbasis kebutuhan lokal. Meski demikian, dalam praktiknya, kolaborasi tersebut sering kali masih bersifat hierarkis. Pemerintah kerap mendominasi proses pengambilan keputusan, sementara LSM hanya dilibatkan sebagai pelaksana teknis di lapangan. Pola hubungan semacam ini membuat kolaborasi kehilangan esensinya sebagai kemitraan yang sejajar. Agar kolaborasi menjadi lebih bermakna, pemerintah perlu menempatkan LSM sebagai mitra strategis sejak tahap perumusan kebijakan, bukan hanya sebagai pelaksana di tahap implementasi.

             Dalam aspek hubungan kontraktual, kerja sama antara pemerintah dan LSM biasanya diformalkan melalui kontrak atau nota kesepahaman. Dokumen ini menjadi dasar hukum yang mengatur pembagian tugas, kewajiban, serta alokasi sumber daya bagi masing-masing pihak. Secara hukum, kontrak menjadi instrumen penting untuk memastikan kejelasan peran dan standar pelaksanaan program. Namun, kelemahannya terletak pada sifat kontrak yang sering kali jangka pendek dan berorientasi pada output proyek semata. Hal ini menyebabkan keberlanjutan program sering diabaikan, padahal penanganan stunting memerlukan pendekatan jangka panjang untuk menghasilkan perubahan perilaku gizi keluarga dan peningkatan kesehatan anak secara berkesinambungan. Kontrak kerja sama seharusnya tidak hanya berfokus pada administrasi formal, melainkan dirancang untuk mendorong outcome sosial yang berkelanjutan.

            Konsep jejaring administrasi publik juga sangat relevan untuk memahami dinamika penanganan stunting di NTT. Dalam praktiknya, banyak aktor yang terlibat---mulai dari dinas kesehatan, pemerintah daerah, puskesmas, kader posyandu, hingga tokoh masyarakat setempat. Kompleksitas ini menuntut koordinasi lintas lembaga yang efektif. Namun, ego sektoral dan proses birokrasi yang lambat sering kali menghambat kolaborasi antar pihak. Akibatnya, program yang dijalankan tidak selaras dan hanya berfokus pada bagian tertentu. LSM yang memiliki fleksibilitas tinggi kerap terkendala oleh sistem birokrasi yang kaku, sementara pemerintah sulit bergerak cepat karena keterikatan pada prosedur administratif. Untuk mengatasi hambatan ini, dibutuhkan sistem administrasi publik yang lebih terbuka dan adaptif, forum koordinasi lintas sektor yang rutin dilakukan, serta platform data terintegrasi yang dapat diakses bersama.

          Selain itu, peran para pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi aspek penting dalam keberhasilan layanan publik kolaboratif. Penanganan stunting di NTT tidak bisa diserahkan hanya kepada pemerintah dan LSM, melainkan harus melibatkan tokoh agama, tokoh adat, akademisi, sektor swasta, dan organisasi internasional. Faktor budaya lokal memiliki pengaruh besar terhadap pola asuh anak dan kebiasaan konsumsi masyarakat, sehingga pendekatan yang sensitif terhadap kearifan lokal menjadi sangat penting. LSM sering kali lebih berhasil membangun kepercayaan masyarakat melalui pendekatan kultural, sementara pemerintah memiliki keterbatasan dalam hal ini. Oleh karena itu, keberhasilan program stunting sangat bergantung pada kemampuan seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi sejak tahap perencanaan hingga evaluasi program. Kolaborasi yang inklusif dan partisipatif akan memperkuat efektivitas intervensi, sekaligus meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program tersebut.

            Secara keseluruhan, kolaborasi antara pemerintah provinsi, LSM, dan berbagai pihak lainnya merupakan langkah penting dalam mengatasi masalah stunting di NTT. Upaya ini mencerminkan kerja sama lintas sektor untuk menjawab tantangan kesehatan masyarakat yang kompleks. Dengan menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, membangun hubungan kerja sama yang setara, memperkuat sistem administrasi publik, serta mengoptimalkan peran para pemangku kepentingan, maka penanganan stunting dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan. Namun, tantangan seperti dominasi pemerintah dalam pengambilan keputusan, kontrak kerja yang jangka pendek, dan lemahnya koordinasi antar sektor perlu segera diatasi. Ke depan, NTT membutuhkan model kolaborasi yang lebih terbuka, partisipatif, dan berbasis kesepakatan bersama. Jika hal ini terwujud, maka penanganan stunting di NTT tidak hanya akan menurunkan angka gizi buruk, tetapi juga menjadi contoh praktik kolaborasi yang baik dalam membangun generasi yang sehat, tangguh, dan produktif.

Referensi

Suratri, M. A. L., Putro, G., Rachmat, B., Nurhayati, Ristrini, Pracoyo, N. E., ... & Raharni. (2023). Risk factors for stunting among children under five years in the province of East Nusa Tenggara (NTT), Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(2), 1640.

Picauly, I., & Toy, S. M. (2013). Analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. Jurnal gizi dan pangan, 8(1), 55-62.

Picauly, I., Lendes, T. M. S. S., Paah, I. P., & Kartini, R. (2021). Pendampingan 25 Indikator Percepatan Penurunan Stunting Di Kabupaten Sumba Barat Daya (Sbd) Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Kepulauan Lahan Kering, 2(1), 1-14.

Jati, T. W. U., Sukin, M., & Ultanti, A. (2024). Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2019-2023. Jurnal Statistika Terapan (ISSN 2807-6214), 4(2), 83-93.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun