Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

22 Jam Mengikat Rindu, Berburu Ilmu, Selusuri Pantai Reklamasi

8 Agustus 2019   11:53 Diperbarui: 8 Agustus 2019   12:07 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pioncianacottages.com

Pernah ke Pantai Maju?

Kami pernah lho, #bangga. ^_^

Itu lho pantai reklamasi yang kasusnya bikin heboh. Sebelum mendapat nama Pantai Maju, kawasan ini dinamai Pulau D, kemudian Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memberinya nama Maju.

Sebetulnya ada 3 pulau sih, yaitu pulau C, D dan G. Mungkin karena aneh, nama pulau kok cuma abjad, jadi deh pak Gubernur yang sangat doyan beretorika, memberi nama Pantai Kita (Pulau C), Pantai Maju (Pulau D), Pantai Bersama (Pulau G).

Sip, Kita Maju Bersama, dan yang kami datangi adalah Pulau D, eh Pantai Maju. 

Pasti timbul pertanyaan, yang bener pantai atau pulau? Kok tadi bilang pantai, terus pulau, terus pantai lagi?

Gini lho, ternyata ada yang berantem. Sebagian suara berpendapat bahwa lahan reklamasi merupakan pantai karena masih menyatu dengan daratan asal. Sebagian lagi bilang, lahan baru hasil reklamasi adalah pulau karena area pesisir terdiri dari batu bukan pasir.

Ya iyalah namanya juga hasil reklamasi, bukan buatan Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa bikin pesisir pantai dalam wujud daratan berpasir.

Nah, daripada debat kusir tak berujung, kita tanya pada Bapak Wikipedia mengenai definisi pulau, dan jawabannya adalah:

Pulau adalah sebidang tanah yang lebih kecil dari benua, dan lebih besar dari karang, yang dikelilingi air.

Lebih spesifik dijelaskan bahwa pulau terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi.

Ok mantul ya, penggunaan kata pantai lebih tepat untuk Pantai Maju?

Lha terus ngapain keluyuran  ke Pantai Maju?

Ups lupa. Keasyikan ikut heboh mengulik pantai Maju. Padahal tujuan utama kami ke Jakarta adalah untuk mengikat silaturahmi dan berburu ilmu bersama kompasianer lain, bonusnya adalah jalan-jalan ke Pantai Maju. Agar tidak plongah-plongoh, kudet, ketika banyak orang diskusi tentang kawasan reklamasi.

Jadi, di pagi 2 Agustus yang dingin, berangkatlah kami dari Bandung menggunakan KA Argo Parahyangan. Kami yang dimaksud, adalah saya, Yeni Kurniatin, Intan Rosmadewi, Sugi Siswiyanti dan Ida Tahmidah. Menuju lokasi acara di Graha Wisata TMII Jakarta, untuk mengikuti acara bertajuk "Pelatihan Menulis dan Tour ke Pantai Maju".

Selama 22 jam, yaitu dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB esok harinya, Click Kompasiana dan Persatuan Penulis Indonesia (PPI) menjamu kami, makan dan minum hingga kenyang. Tidur nyenyak. Bercanda ria. Melepas rindu. Mengikat silaturahmi.

Kisah berawal dari sini: 5 Perempuan Cantik Saba Kota Jakarta Menuju Click Kompasiana

pelatihan menulis (Dokumen Pribadi)
pelatihan menulis (Dokumen Pribadi)

Pelatihan menulis

Event pelatihan menulis ini sarat gizi. Diawali pemaparan membuat fiksi oleh Fanny Jonathans Poyk, dilanjutkan mengupas konten marketing bareng mas Iskandar Zulkarnaen (Isjet) dan ditutup oleh pak Isson Khairul yang membahas pernak pernik tulisan ekonomi.

Fanny Jonathans Poyk

Duh suka banget deh mendapat materi dari perempuan cantik ini, putri dari Gerson Poyk, sastrawan Indonesia. Tidak saja karena expert dibidangnya, Fanny pun memberi penjelasan yang lugas dan jernih sehingga mudah dicerna.

Menurut Fanny, sebelum menulis fiksi sebaiknya mengadakan riset, baik langsung ke lapangan maupun dari membaca buku. Data yang terekam akan membantu penulis mengembangkan kisah.

Walau yang terpenting sih, nulis aja dulu. Nah ini dia, saya lemah disini. Menulis fiksi harus menunggu ilham, jika si ilham nggak datang, ya ngga menulis. Diketok ibu Fanny ^_^

Mendadak teringat pada kiat yang dibagikan A. Fuadi, penulis "Negeri Seribu Menara" pada salah satu event work shop menulis yang diadakan Kompasiana. A.Fuadi bilang, harus disiplin menulis, sekian halaman per hari, agar bisa menerbitkan novel.

Ashiaaap Ibu Fanny, Pak A. Fuadi, sesampainya di Bandung saya akan berlatih disiplin menulis.

Iskandar Zulkarnaen

Entah sudah berapa kali saya mendapat ilmu dari Bang Isjet, panggilan Iskandar Zulkarnaen. Mungkin perlu 2 tangan untuk menghitungnya, karena selain Kang Pepih, sering banget Bang Isjet membawakan materi blogshop Kompasiana.

Anehnya materi yang dibawakan selalu baru. Seperti kali ini, semula Mbak Muthiah Alhasany (Founder Click Kompasiana) menjadwalkan tema "Literasi Digital", namun akhirnya bicara konten marketing, bidang yang sedang digeluti Bang Isjet.

Bicara konten marketing memang ngeri-ngeri sedap. Maklum kebanyakan kontributor Kompasiana juga memiliki blog pribadi, tempat untuk menulis sponsor post. Bagaimana menulis tanpa terlalu kentara sedang jualan, merupakan keahlian yang ingin saya pelajari.

Ternyata Bang isjet bilang, client sebetulnya nggak rewel kok. Apakah tulisannya hard selling atau soft selling, yang penting harganya cocok dan tulisan bisa menginfluence pembaca.

Hihihi iya sih ya? Walau sering merasa risih jika terang-terangan sedang promosi barang/jasa. Eh tapi Kompasiana kan terang-terangan juga ya? Jika dulu iklan hanya ada di kanan kiri tulisan, bahkan hanya di halaman depan. Sekarang, ya ampun, setiap paragraf ada iklan, sehingga gambar yang diunggah Kompasianer balapan dengan iklan.

Hehehe nggak papa Kompasiana, asal K-Rewards lancar jaya aja. ^_^

Isson Khairul

Suer, saya pikir Pak Isson akan membahas materi yang menjemukan. Tentang ekonomi gitu lho. Sering banget saya mati gaya ketika menulis serba serbi ekonomi. Padahal saya lulusan fakultas Ekonomi dan sebelum menjadi full ibu rumah tangga, saya berkarir di bidang akutansi. Berkutat dengan perpajakan dan perbankan.

Ternyata menurut Pak Isson yang diperlukan adalah sentuhan agar tulisan ekonomi lebih membumi. Misalnya gini, saya kan sering mendapati pedagang pasar yang lebih menyukai menyimpan uangnya di bawah bantal. Sementara di kawasan pasar banyak terdapat kantor cabang bank, milik pemerintah maupun swasta.

Para pedagang di pasar beralasan, toh uangnya ngga lama mereka simpan, keesokan harinya diperlukan untuk kulakan (membeli barang dagangan). Namun akibatnya si pedagang menjadi tidak bankable, sulit meminjam untuk menambah modal. Sehingga berakhir dalam lilitan rentenir yang doyan banget menambah bunga pinjaman.

Nah, menjadi tugas penulis untuk mencari data mengenai keengganan si pedagang, kemudian menyajikan dalam sebuah tulisan. Karena tulisan seperti itu sangat dibutuhkan pihak bank dan pemerintah. Pemerintah tengah giat membasmi praktek gelap rentenir yang nyata-nyata illegal.


Selusur Pantai Maju

"Ya ini yang namanya Pulau Maju. Ini bagian tengahnya", kata mas Yon Bayu ketika 3 kendaraan yang memuat sekitar 40 orang lebih memasuki kawasan berpaving block, deretan bangunan baru di kanan kiri, dan jajaran pohon yang nampaknya baru saja ditanam.

Hah ini?

Bayangan kami Pulau Maju adalah sebuah pulau yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan perahu, dikelilingi laut Jawa, dengan pasir dan nyiur melambai.

Nyatanya ....

Nggak heran, seperti yang sudah saya tulis di paragraf awal, terjadi perdebatan apakah sebaiknya disebut Pulau Maju atau Pantai Maju. Sebuah plang besar bertuliskan "Anda Ada di Pantai Maju" seolah menjadi hakim yang melegalkan bahwa sebutan resminya adalah Pantai Maju.

Gubernur DKI  Jakarta, Anies Baswedan memang menyatakan penggunaan pantai dan bukan pulau. Penyebabnya kawasan reklamasi ini masih masuk dalam kawasan Pulau Jawa.

Anies juga merencanakan akan membangun rumah susun tematik untuk masyarakat berpenghasilan rendah, pasar tematik ikan, tempat ibadah, kantor pemerintah dan dermaga.

Mumpung materi ekonomi masih hangat, kamipun berbincang dengan Pak Isson tentang rencana Gubernur DKI Jakarta tersebut. Hasil akhirnya kami sepakat bahwa tidak bijak menyandingkan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan kaum borjuis. Masing-masing pihak akan merasa tidak nyaman.

Mereka yang berpenghasilan rendah pastinya akan membutuhkan banyak fasilitas baru, seperti sekolah, agar penghasilan mereka tidak habis untuk transportasi. Sedangkan golongan elit akan jengah berdampingan dengan pemukiman kumuh. Jemuran memenuhi jendela dan anak-anak cemong berlari kesana-kesini.

Wajah cape namun bahagia  peserta pelatihan menulis
Wajah cape namun bahagia  peserta pelatihan menulis

Mengikat Silaturahmi

Ah sudahlah, kita tinggalkan Bapak Anies yang berjanji akan membatalkan proyek reklamasi, namun berujung meresmikan Jalasena jogging, bicycle track, serta merencanakan ini itu. Nggak mudah emang jadi gubernur. Sering dilematis membuat keputusan.

Lebih asyik jadi Kompasianer, bisa menilai sambil selfie-selfie. Bisa tertawa tertiwi tanpa beban, sambil menikmati proyek ambisius segelintir orang.

Karena kedatangan kami ke Jakarta, selain untuk berburu ilmu berbonus anjangsana ke Pantai Maju, adalah untuk silaturahim. Sebelumnya hanya say hello, saling adu pendapat di media sosial dan di laman tulisan.

Pada kesempatan yang istimewa ini kami juga bisa berkenalan dengan wajah-wajah baru. Bahkan perjalanan Bandung - Jakarta dan diakhiri Jakarta _ Bandung, merupakan peristiwa langka lho. Biasanya, kami ber-5 hanya bertemu ketika ada event, itupun sering tidak sempat ngobrol dan curhat.

Kali ini kami memuaskan diri, terlebih Mbak Muthiah Alhasany sekamar dengan rombongan pohaci dari Bandung. Dua puluh dua jam pertemuan terasa begitu singkat. Tiba-tiba selesai begitu saja dan berpisah. Mau nangis bombay kok malu. Nggak nangis kok pingin nangis.

Akhirulkalam, terimakasih Mbak Muthiah Alhasany, Mas Yon Bayu dan segenap rekan kompasianer yang bertugas. Jangan kapok mengundang kami. Salam hangat untuk teman-teman kompasianer lainnya, peserta event "Pelatihan Menulis dan Tour ke Pulau Maju". Tiada kesan tanpa kerhadiran kalian.

Mari mengikat rindu, bertemu dilain waktu.

Sampai jumpa ..... #hiks

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun