Mohon tunggu...
Maria Sekar Ayu
Maria Sekar Ayu Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswi Komunikasi

Mahasiswi komunikasi yang hobinya foto, makan, jalan-jalan sendirian dan nontonin video kucing di twitter.

Selanjutnya

Tutup

Film

Netflix dan Sinema

3 September 2020   13:23 Diperbarui: 3 September 2020   13:30 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Glenn Carstens-Peters on Unsplash 

Streaming services seperti Netflix, HBO+, dll telah menjadi andalan rang-orang ketika hendak menikmati hiburan audio visual seperti film dan serial. Sebelum internet dan streaming services meraja-lela, DVD dan Blu-ray menjadi pilihan yang tersedia bagi penikmat film untuk dapat menikmati film-film yang ada di bioskop di rumah mereka. Hadirnya DVD dan straming services menjadi salah satu alat yang dapat memperpanjang usia sebuah film, sehingga film tersebut masih dapat diputar dan dinikmati orang-orang bahkan setelah penayangannya dalam bioskop. 

Namun, hadirnya streaming services tersebut juga menjadi pesaing bagi distributor film teater, karena netflix juga mengeluarkan film-film original eksklusif yang kualitasnya tidak kalah dari film-film yang ditayangkan di bioskop. Perdebatan antara para pelaku dalam industri film mempermasalahkan bedanya pengalaman yang akan dirasakan bagi audience ketika menonton film. 

Persaingan ini membuat hubungan antara Netflix dan industri perfilman cukup tegang. Persaingan ini terlihat ketika dua film Netflix, Okja (2017) dan The Meyerowitz Stories (2017) ikut bertanding dalam Cannes Film Festival, salah satu festival film paling terkemuka. Metode distribusi Netflix yang mennampilkan kedua film tersebut di bioskop sekaligus streaming servicesnya mendapatkan tanggapan buruk dari kelompok pemilik bioskop di Prancis (Wilkinson, 2018).

Tanggapan tersebut muncul karena adanya aturan di Prancis dimana sebuah film baru boleh ditayangkan di platform lain setelah melewati 36 bulan masa tunggu, sedangkan Netflix menolak untuk melakukannya. Perbedaan metode distribusi film antara Netflix dan film-film bioskop tradisional inilah yang dirasa tidak adil bagi para pelaku industri perfilman tradisional. Wilkinson (2018) dalam artikelnya untuk Vox.com mengatakan bahwa persaingan ini juga timbul dari perbedaan antara dua budaya sinema yang berbeda.  

There's the French perspective, which sees cinema as a fundamentally communal experience devoted to an art that is meant to be projected onto a big screen. And then there's the American one, which prizes choice and individual taste and looks at a movie as something that's the same no matter the size of the screen and the viewing conditions under which you see it - Alicia Wilkinson, 2018

Kehadiran streaming services seperti Netflix kemudian memberikan disrupsi bagi industri perfilman. Produser sekarang harus memikirkan pula bagaimana sebuah narasi akan diwujudkan dalam filmnya, terutama kondisi audiences saat menonton film di bioskop dan Netflix 

tentu berbeda. 

Referensi:

Wilkinson, A. (2018, April 13). Netflix vs. Cannes: why they’re fighting, what it means for cinema, and who really loses. Diakses dari:

https://www.ibc.org/trends/streaming-vs-cinema-what-does-the-future-hold-for-film/3517.article

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun