Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terorisme dan Ketidakjujuran Kita

14 Mei 2018   09:49 Diperbarui: 14 Mei 2018   14:13 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk melindungi reputasi agama, banyak diantara kita yang mengumandangkan slogan, "teroris tidak beragama." Pandangan ini tidak sepenuhnya salah. Setidaknya, Karen Amstrong dalam Fields of Blood, 2016, menegaskan bahwa "alasan sesunggguhnya bagi perang dan kekerasan yang terjadi sepanjang sejarah umat manusia sangat sedikit hubungannya dengan agama.

Alih-alih berakar dari inti ajarannya, fenomena kekerasan merupakan reaksi terhadap kekuasaan Negara, kapitalisme dan modernism yang dibungkus dengan bahasa agama."

Dalam menyikapi kasus Mako Brimob dan bom gereja di Surabaya, sikap kita juga tidak beranjak, "teroris itu bukan orang islam." Padahal kita tahu bahwa mereka itu orang islam, setidaknya syahadat, sholat dan simbol-simbol yang diperjuangkan adalah islam. Bahkan sebagian kaum oposisi lebih lucu lagi, "terorisme muncul karena kepemimpinan yang lemah atau karena Ahok."

Saya tidak terkejut dengan pernyataan sebagian kaum oposisi tersebut.  Karena oposisi yang miskin program hampir pasti akan nyinyir untuk memuaskan fantasi para konstituennya.

Alhasil, jika ada bom meledak maka beramai-ramai orang akan melindungi reputasi agama, dengan menampilkan ayat yang melarang pembunuhan dan ayat statemen rahmatan lil alamin. Seolah-olah agama itu adalah terdakwa yang perlu dilindungi. Setelah itu kita cuek lagi. 

Apakah tindakan ini akan menghilangkan terorisme? Sama sekali tidak. Karena teroris juga punya ayat dan doktrin sendiri. Kalau kita bedah kitab suci semua agama, pasti punya ayat yang sifatnya "agresif terhadap kafir".

Nah, justru dalam mimbar pengajian kita lebih suka mendendangkan ayat yang "agresif" terhadap kafir. Banser NU yang mencoba lembut terhadap kafir, dengan ikut menjaga gereja, malah dihujat habis. Kita bangga jika bisa mengundang ustadz yang keras, provokatif, membenci pemerintah tanpa dasar, merendahkan non muslim, menyalahkan kitab suci orang lain, menyalahkan amaliah kelompok lain, menolak mengibarkan bendera dan anti Pancasila.

Kita bertepuk tangan riuh sembari takbir manakala ada ustadz yang berapi-api menyebut Negara ini thagut. Tapi, sekali lagi, jika ada bom yang meledak, dengan sigap kita uplod ayat-ayat tentang damai dan sayang.  Seolah-olah beragama itu akrobat. Ketidakjujuran kita, secara tidak langsung sebenarnya turut menabur benih terorisme dalam diri masing-masing. Saya tidak terkejut jika masih akan ada bom di kemudian hari.

Bagaimana menghilangkan terorisme? Pertama kita harus jujur terhadap agama masing-masing. Bahwa ada penyakit dalam cara kita beragama yang menyebabkan ada umat yang terplintir pemahamannya. Setelah kita berani jujur, maka harus tegas melalukan terapi untuk perbaikan. Tetapi, bukan memperbaiki agama (sudah sempurna), yang diperbaiki adalah cara memahami agama.

Pertama, kita harus menjadikan agama sebagai alat untuk melindungi masyarakat, bukan alat untuk mencapai kekuasaan. Ingat terorisme itu gerakan politik untuk mencari kekuasaan. Kedua, lebih giat mendakwahkan nasionalisme. Jujur saja bahwa dakwah kita selalu pingin dapat surga dengan cara yang mulai tidak jujur, misalnya dengan mengatakan amaliah kelompok lain salah, yang bener amaliahnya sendiri.  Surga memang penting, tetapi mendakwahkan cinta tanah air juga penting. Indonesia rumah kita.

Saya tahu bahwa pembaca tulisan ini ada yang menolak nasionalisme karena ingin mendirikan khilafah. Tolong insyaf, khilafah bukan lahir dari perintah Tuhan, ia lahir dari ijtihad politik ulama, dan ijtihad itu selalu tergantung ruang dan waktu. Dakwah khilafah -- walaupun pengusungnya selalu berteriak konstitusional -- sedikit banyak memberi bensin pada terorisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun