Mohon tunggu...
Margo Teguh S
Margo Teguh S Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Khilafah : Layakkah Diperjuangkan ?

4 Agustus 2018   20:57 Diperbarui: 4 Agustus 2018   23:05 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.rosbalt.ru/

                                                                       Memahami sebuah sistem dalam masyarakat yang melibatkan kepentingan-kepentingan individu untuk mewujudkan relasi sosial, tentunya harus melihat secara mendalam unsur pembangun dalam masyarakat tersebut. Hal demikian yang melandasi timbulnya sebuah peradaban yang mencirikan masyarakat yang telah maju secara pemikiran maupun karyanya. Kecenderungan manusia yang hanya melihat realitas pada tahap kekinian(1) tanpa melibatkan unsur historisitas atau kesejarahan, nantinya akan timbul tragedi yang berulang. Sehingga, pemaknaan dalam memahami kondisi masyarakat hari ini, dengan keterlibatan unsur-unsur pembangun seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya harus dipahami secara kesejarahan hingga terbentuknya sebuah sistem ideal yang dipakai oleh masyarakat dan institusi.

Demikian pula dengan paradigma yang menjadi nilai umum dalam memahami pola berpikir masyarakat yang terbatas pada ruang dan waktu. Hal tersebut diartikan bahwa dinamika masyarakat dengan segala unsurnya berkaitan erat dengan pandangan masyarakat yang lazim pada saat tersebut. Dengan kata lain, dalam memahami cara berpikir masyarakat pada suatu masa tertentu, haruslah diiringi dengan pemahaman zaman yang melatarbelakanginya atau kondisi sosial, ekonomi, politik pada masa itu. Sehingga, kritik terhadap masa lalu menggunakan logika berpikir masyarakat masa kini tidak relevan dalam menyimpulkan sesuatu. Sebagai contoh dalam dunia pendidikan, zaman dahulu perilaku guru terhadap murid yang cenderung pendiam dalam proses pembelajaran akan dinilai sebagai murid yang pintar dan baik, tetapi berbeda halnya dengan zaman sekarang yang mengalami pergeseran makna bahwa terjadi keraguan bagi guru terhadap murid yang hanya diam dalam proses pembelajaran. Melihat hal tersebut berkaitan dengan paradigma atau pandangan umum suatu masyarakat dalam ruang dan waktu. Sehingga menilai sebuah sistem, perubahan sosial, dan pola interaksi manusia dan lingkungannya harus dipahami secara menyeluruh aspek yang melingkupi konteks zamannya.

Memperjuangkan dan mengagungkan sistem ideal pemerintahan pun demikian halnya. Konsepsi mengenai sistem yang mendasari terciptanya masyarakat yang plural dan homogen menjadi konteks yang berbeda dalam menetapkan sistem yang ideal. Indonesia sebagai negara yang plural dengan adanya bermacam-macam suku, agama, ras, dan golongan memiliki kepentingan yang berbeda-beda, apabila tidak disatukan dalam sebuah sistem nilai atau pandangan hidup bersama, maka akan timbul adanya pergolakan yang berujung pada perpecahan dan tragedi mengerikan lainnya. Konsepsi mengenai dasar negara Indonesia, sebenarnya telah dirumuskan sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 oleh tokoh-tokoh perjuangan dari berbagai golongan hingga tercetusnya Pancasila yang menjadi dasar berbangsa dan bernegara. Didalamnya mencakup nilai-nilai luhur bangsa yang mencakup pluralisme di Indonesia yaitu suku, agama, ras, dan golongan. Sehingga, munculnya upaya-upaya yang mengatasnamakan kelompok yang ingin mengubah falsafah hidup bangsa Indonesia menjadi kepentingan kelompok tertentu dengan gagasan fanatik yang diperoleh dari ideologi atau dalil agama menjadi ancaman bagi keutuhan Indonesia di masa mendatang.

Kecenderungan pola berpikir umat beragama dalam hal ini Islam, yang tidak diperkukuh oleh pola berpikir filsafat dengan ciri radikal(2) dan komprehensif (3) menjadi sebuah ketimpangan dan tanda sebuah kemunduran umat. Perbedaan akal dan wahyu merupakan dua jalan yang berbeda dalam menemukan Tuhan. Sehingga, hal ini menjadi sebuah kesalahan yang besar, ketika sebagian orang menyebut pola berpikir filsafat ataupun yang berkaitan dengan filsafat sebagai atheis. Demikian pula dalam memahami hadis sahih Nabi Muhammad SAW akan tegaknya kembali khilafah yang merupakan janji Allah SWT. Beliau (Nabi Muhammad SAW) bersabda : "Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta'ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta'ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah 'ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam."(HR Ahmad; Shahih). Tafsir terhadap hadis tersebut terkait proses tegaknya khilafah di akhir zaman nantinya, jika memahaminya sebagai sebuah pola filsafat dialektika(4) menjadi sebuah alternatif dalam pengambilan sudut pandang dan penerimaan masyarakat. Perlu diketahui bersama filsafat dialektika-Hegel dalam memahami hadis tersebut yang dikomparasikan dengan materialisme historis-Marx dengan memiliki pola umum yang sama yaitu tesis, anti-tesis, sintesis. Tahapan periode tegaknya khilafah sesuai hadis diatas jika diurutkan sebagai berikut :

Periode Kenabian

Periode Khilafah Aala Minhaj Nubuwwah

Periode Mulkan Aadhdhan

Periode Mulkan Jabbriyyan

Periode Khilafah Ala Minhaj Nubuwwah

Periode yang bertahap tersebut dapat dikatakan sebuah proses yang dialektis dengan periode zaman yang dibenturkan oleh realitas kehidupan dan menghasilkan sebuah sistem baru. Demikian pula kehidupan manusia pada dasarnya adalah sebuah proses yang dialektis, dengan benturan-benturan dalam dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya hingga membentuk jadi diri dan pola interaksi sosial dalam lingkup masyarakat.

Adanya semangat dalam memperjuangkan sistem yang telah menjadi janji Allah di akhir zaman tidak perlu mengubah dengan mengambil jalan revolusi, karena ini merupakan pemikiran primitif yang bersifat utopis. Mengapa dikatakan sebagai pemikiran primitif?, karena peristiwa tersebut telah terjadi di Indonesia yang berakhir dengan perpecahan dan pertikaian dengan mengusung konsep negara bagi kepentingan kelompok, padahal melihat realitas negara Indonesia adalah negara yang majemuk. Pemikiran primitif pun dalam konteks tersebut juga dapat dikatakan sebagai pemikiran yang tidak memahami sejarah Islam di Indonesia dari pola persebaran dan gerakan dakwahnya. Sehingga, menurut asumsi penulis sebaiknya gerakan mereka lebih ditekankan pada bidang ibadah (hubungan dengan Allah) dan muamalah (hubungan dengan manusia) tanpa harus mengubah sistem ideologi negara yang telah menjadi konsensus masyarakat dan negara. Penegakan khilafah tersebut tidak perlu diperjuangkan karena telah menjadi janji Allah. Mengapa demikian, karena secara akal sehat pribadi seorang muslim yang bebas tidak dibelenggu oleh dalil agama dan masih mempertimbangkan akalnya, justru memilih bersabar dan memperbanyak bermuhasabah diri. Oleh karena itu, timbul sebuah asumsi bahwa kelompok yang memperjuangkan khilafah tersebut hendak juga menandingi kekuasaan Allah SWT. Hal ini dikarenakan, kelompok pejuang khilafah seolah mengkonstruksi Tuhan dalam kehendak dan kepentingannya. Asumsi tersebut digunakan bahwasanya Tuhan menginginkan khilafah tegak dengan cara ini dan itu, lantas kemudian mengapa kekuasaan Allah yang menjadi kuasa atas alam semesta ini, masih terdapat kekuasaan lain yang "seolah" menandingi kekuasaan-Nya. Sehingga dalam hal ini dapat ditarik sebuah garis kesimpulan bahwasanya Allah SWT memiliki skenarionya sendiri dalam menegakkan khilafah yang nantinya akan kembali bangkit pada akhir zaman dengan diangkat/dibaiatnya Imam Mahdi yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW sebagai khalifah di muka bumi ini. Juga, sebagai umat muslim yang taat tentunya peka terhadap kondisi alam dan politik terkini yang mengarah pada tanda-tanda akhir zaman yang sering disebutkan di dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Sebagai penutup, penulis mengutip sebuah kalimat dalam karya Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam Ilusi Negara Islam yang menyebutkan bahwa "jargon memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata, karena langkah ini sangat ampuh dalam mencapai tujuannya, sehingga siapapun yang melawan dituduh telah melawan Islam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun