Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kebiri Kimia dan Psikoterapi: Bantuan Rehabilitatif bagi Predator Seksual

12 September 2021   20:09 Diperbarui: 15 September 2021   12:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.independent.co.uk

Sering yang terjadi, kasus kejahatan seksual pada anak diketahui setelah korban jatuh sudah lebih dari satu orang. Besar kemungkinan, ketika berhadapan dengan satu pelaku kejahatan seksual, kita harus menggali lebih dalam berapa jumlah korban yang telah jatuh atau seberapa frekuentif dan intensif perilaku seksual yang dikenakannya pada korban.

Usia ditemukan sebagai faktor yang sangat menentukan apakah akan terjadi pengulangan perilaku kejahatan seksual. Hal ditemukan oleh riset Psikologi Forensik di Universitas Airlangga yang menggunakan alat actuarial Static-99 (yang diperbarui menjadi static-2002). Static adalah alat ukur yang berisi berbagai faktor resiko kejahatan seksual yang ditemukan dari berbagai review aktuarial kasus kejahatan seksual di dunia. Static telah banyak digunakan untuk mengukur resiko pengulangan kejahatan seksual dan hasilnya dijadikan salah satu pertimbangan pemberian hukuman pada pelaku kejahatan seksual. Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki pelaku, maka semakin besar kemungkinannya ia akan melakukan ulang kejahatan seksual (residivisme). Oleh karena itu, semakin penting penegak hukum melakukan intervensi untuk mencegah kejahatan.

Tim peneliti menghitung resiko terjadinya pengulangan kejahatan seksual kelak di sampel pelaku kejahatan laki-laki di Lapas. Hasil statistik menemukan, usia adalah faktor yang signifikan menentukan resiko pengulangan kejahatan seksual. Jika seorang pelaku kejahatan lepas masa pidana di usia produktif (di bawah 65 tahun), maka resiko pengulangan kejahatan seksualnya tergolong beresiko sedang dan tinggi. Jika usia lepas dari penjara di atas 65 tahun, maka resiko pengulangan kejahatan secara signifikan menurun. 

Temuan ini logis, karena pada masa usia produktif, hasrat seksual masih cukup tinggi dan frekuentif sehingga masih akan terjadi perilaku seksual. Namun, jika kebutuhan seksual yang masih tinggi disertai dengan kesulitan pengendalian impuls seks dan penyimpangan seksual, artinya resiko pengulangan kejahatan seksual menjadi tinggi. Artinya, korban kejahatan seksual dapat terus berjatuhan kelak.

Pelaku kejahatan seksual pada anak juga memunculkan kesalahan berpikir (cognitive distortions). Rata-rata pelaku kejahatan seksual memahami bahwa perilaku seks yang dilakukannya pada anak di bawah umur adalah salah. 

Namun, mereka juga memiliki ide yang salah yang digunakannya untuk membenarkan perilaku seksual yang dikenakannya pada korban, misalkan: "anak itu yang menggoda saya", atau "dia duduk (berperilaku) dengan menggoda sehingga saya tidak bisa mengendalikan diri saya", atau "pasangan saya tidak bisa melayani saya maka saya tidak punya pilihan lain selain melakukannya pada anak itu". Kesalahan berpikir ini juga digunakan pelaku sebagai alasan lemahnya kemampuan kendali seksualnya, sehingga ia melakukan perilaku seksual berulang pada korbannya (atau korban jamak).

Dari temuan ini, dapat disimpulkan sementara, bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak perlu dibantu untuk bisa merubah perilaku seksualnya yang menyimpang dan mencegah melanggar hukum. Kejahatan seksual pada anak terjadi karena lemahnya kendali pelaku atas perilakunya sendiri. Jelas, pelaku akan membutuhkan bantuan untuk mengendalikan impuls seksualnya, terutama ketika ia berada dalam masa usia produktif, serta bantuan intensif untuk merubah cara pandangnya yang salah tentang seks dengan anak.

Kebiri kimia: Bantuan kelola impuls seksual

Kebiri kimia (chemical castration) adalah upaya medis dengan menggunakan obat-obatan dalam rangka menurunkan libido atau hasrat seksual dan aktivitas seksual. Kebiri kimia hanya akan berdampak selama obat diminum, artinya seksualitas dapat Kembali normal jika obat tidak lagi diminum. Kebiri kimia bukan sterilisasi, dan banyak digunakan dalam pengobatan kanker dan juga pengelolaan perilaku seksual.

Salah satu peran kebiri kimia adalah untuk mengendalikan perilaku kecanduan seksual. Di dalam The Cut, dijelaskan bahwa seorang laki-laki berusia 62 tahun yang kecanduan seks dan sulit mengelola hasratnya untuk terus berhubungan dengan prostitusi, akhirnya memutuskan menggunakan obat kebiri kimia dengan keputusan sendiri/sukarela dalam rangka menyelamatkan pernikahannya yang berada di ambang kehancuran (Tsoulis-Reay, 2015).

Perlu dipahami, pelaku kejahatan seksual yang telah memahami betapa perilakunya telah merusak korban anak dan sungguh merasa bersalah, justru akan meminta bantuan untuk merubah dirinya agar mampu mengendalikan diri dan tidak melakukan kejahatan seksual lagi. Namun, jika pelaku masih belum mau bertanggungjawab atas dampak kerusakan kejahatannya pada anak, justru mereka akan menyangkal bantuan dengan berbagai alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun