Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apa yang Indonesia Perlu Pelajari dari "George Floyd"?

12 Juni 2020   13:02 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:41 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seniman menyelesaikan mural George Floyd di luar Cup Foods, Kamis, 28 Mei 2020 di Minneapolis. Warga Minnesota turun ke jalan dalam protes hari ketiga menyusul kematian George Floyd di tangan petugas kepolisian Minneapolis. (Ap/Mark Vancleave via kompas.com)

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindakan yang bersifat menebar kebencian (haatzaai artikelen) atau perlakuan yang diskriminatif.

Pasal 156 KUHP. Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Pasal 157 KUHP:
(1) Barang siapa menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan Rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

(2) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima (5) tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

Dengan kedua pelindung hukum ini, harusnya segala pertimbangan perilaku individu maupun kelompok, masyarakat awam maupun pemerintah, didasarkan tujuan pencegahan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis. Dengan hukum ini, masyarakat kita juga dituntut dewasa dalam berhadapan dengan yang berbeda dari mereka, belajar akal sehat, toleransi dan empati.

Namun pada kenyataannya, payung hukum ini pun belum efektif diterapkan ketika ketidakadilan diskriminatif terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi karena sikap dan perilaku diskriminatif ternyata masih dipermaklumkan dan luas dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Ketika diskriminasi dipermaklumkan di masyarakat Indonesia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat 101 kasus diskriminasi ras dan etnis di Indonesia pada tahun 2011-2018 (Bhaskara, 2018). Kita tahu diskriminasi salah. Tapi mengapa tetap ada yang melakukannya?

Walaupun telah terbiasa hidup dalam masyarakat yang majemuk sejak ribuan tahun lalu, namun ternyata akhir-akhir ini masyarakat Indonesia canggung menerima perbedaan. Survei yang dilakukan Komnas HAM dan Kompas pada 1.207 orang berusia 17-65 tahun dari 34 propinsi di Indonesia tahun 2018 menemukan, saat ini masyarakat Indonesia menyatakan lebih nyaman hidup dalam kelompok masyarakat keturunan keluarga yang sama (81,9%), lebih memilih hidup dengan kelompok etnis yang sama (83%%), dan lebih memilih hidup dengan kelompok ras (warna kulit) yang sama (82,7%).

Kecanggungan ini bisa mengakibatkan terjadinya pengelompokan sosial berdasarkan etnis dan ras. Masyarakat yang tidak mau berbaur dan cenderung memilih hanya berkelompok dengan orang yang sejenis etnis dan rasnya akan menjadi lebih rentan bersikap rasis dan melakukan diskriminasi.

Lebih lanjut, walaupun mayoritas (>90%) melaporkan belum pernah mengalami diskriminasi, namun hampir separuh menyatakan pernah melihat diskriminasi terjadi. Artinya, orang Indonesia sebenarnya tahu dan paham bahwa ketidakadilan berdasarkan rasisme terjadi di masyarakatnya.

Pertanyaan yang muncul, apa yang dilakukan oleh masyarakat kita melihat ketidakadilan? Jika kelompok masyarakat telah tersegregasi, kemungkinannya, adalah munculnya sikap ekstrem dan sikap tidak peduli. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun