Pengantar
“Iqra’ — bacalah.”
Bacalah, bukan hanya huruf, tapi juga kehidupan.
Setiap kita punya kisah tentang guru — sosok yang menyalakan cahaya di tengah kegelapan.
Bagi saya, kisah itu bukan sekadar kenangan di ruang kelas. Ia adalah napas kehidupan yang diwariskan dari ayah dan ibu saya, dua sosok sederhana yang mengajarkan arti keikhlasan dan pengabdian.
Saya tumbuh dari derit rantai sepeda seorang guru dan aroma kue buatan ibu setiap Subuh. Dari keduanya saya belajar bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan cahaya yang harus dibagikan.
Tulisan ini adalah bentuk terima kasih saya — untuk ayah, ibu, dan semua guru di dunia. Hari ini, Minggu, lima Oktober bertepatan dengan Hari Guru Sedunia. Karena berkat merekalah, kita belajar bukan hanya membaca buku, tapi juga membaca kehidupan
Aku kini berusia 72 tahun. Rambutku memutih, langkahku tak tegap lagi, dan stetoskop yang dulu setia di leher, kini lebih sering tergantung di kenangan daripada di leherku.
Namun, ada satu hal yang tak pernah rapuh dimakan usia:
aku adalah anak seorang guru.
Ayahku, lelaki sederhana dengan sepeda onthel tuanya.
Setiap pagi aku mendengar derit rantai sepeda itu saat ia menuntunnya ke luar halaman. Di tangannya ada kapur putih dan buku lusuh yang sudah berulang kali ditempeli kertas cokelat sebagai sampul.
Beliaulah guru pertamaku --- bukan hanya di kelas, melainkan di sepanjang jalan hidupku.
Masih kuingat suatu pagi di masa kecil, ketika aku mengeluh pada ayah,
"Yah, kenapa kita tak pernah punya sepatu baru seperti teman-teman?"
Ayah berhenti mengayuh sepedanya, menepuk bahuku sambil tersenyum.
"Sepatu bisa habis, Nak. Tapi, ilmu tidak. Kalau harta bisa sirna, ilmu justru makin kaya kalau dibagi. Ingat itu!"
Kata-kata itu menancap dalam, lebih kuat daripada rasa iri masa kecilku.