Ibuku pun tak kalah mulianya. Ia memang tak mengajar di sekolah, tetapi tangannya adalah kitab kehidupan yang mengajariku banyak hal. Tiap subuh aku terbangun oleh aroma kue basah yang dibuatnya. Kue itu akan kutitipkan di kedai sekolah.
Siang harinya, kulihat ibu merenda taplak meja dengan sabar --- benang demi benang, demi menambah penghasilan keluarga.
Pernah suatu kali aku berkata, "Ibu, capek sekali, ya, setiap hari membuat kue?"
Ibu hanya tersenyum, mengusap rambutku, dan menjawab pelan,
"Capek itu hilang kalau ibu melihat kalian bisa sekolah."
Kalimat itu sederhana, tapi bagiku adalah pelajaran tentang kasih sayang dan pengorbanan tanpa syarat.
Sejak kecil, ayah menanamkan satu kata sederhana: Iqra' --- bacalah.
Ia percaya, membaca adalah kunci untuk membuka dunia.
"Dari papan tulis yang kotor kapur ini," katanya suatu malam sambil membersihkan jarinya,
"bisa lahir anak-anak yang kelak mengubah zaman."
Dan dari Iqra' itulah aku melangkah: membaca huruf pertama, membaca alam, hingga belajar membaca tanda-tanda kebesaran-Nya.
Aku tumbuh di keluarga guru. Kakekku, paman-pamanku, beberapa saudaraku --- semuanya mengabdikan diri di dunia pendidikan.
Dari mereka aku mendengar kisah tentang murid-murid yang harus menempuh belasan kilometer hanya untuk sampai di sekolah. Tentang buku yang diwariskan dari satu angkatan ke angkatan lain. Tentang ruang kelas berdinding papan yang bocor, tapi penuh cahaya pengetahuan.
Semua cerita itu membentuk kesadaranku bahwa mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.
Aku memang memilih jalan berbeda --- menjadi seorang dokter.
Namun, sejatinya aku tetap murid dari para guru itu.
Tanpa mereka, tak mungkin aku bisa meraih cita-cita.
Jika hari ini aku bisa menolong pasien dengan ilmu kedokteran, itu karena dulu ada guru yang sabar mengajarkanku menulis huruf pertama.
Jika aku bisa berdiri sebagai seorang dokter spesialis, itu karena ada guru yang tak pernah lelah menanamkan arti disiplin dan kejujuran.
Kini, di usia senja, aku menengok ke belakang dengan penuh syukur.
Aku menulis bukan untuk mengenang diriku, melainkan untuk mengucapkan terima kasih.