Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puan Maharani bak Sabai Nan Haluih Perempuan Pemberani dalam Legenda Minangkabau

7 September 2020   17:57 Diperbarui: 7 September 2020   18:08 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Himbauan Puan Maharani yang mengharap Sumatera Barat menjadi pendukung negara Pancasila menjadi kontroversi. Himbauan tersebut ada yang menilai sebagai baper politik karena eksistensi PDIP di Sumatera Barat lemah sekali. 

Tidak satu kursi DPR RI di isi oleh PDIP dari Provinsi ini. Jokowi yang diusung PDIP dalam Pilpres 2019 juga tidak mendapat suara signifikan. Perolehan suara untuk Jokowi di Sumatera Barat hanya sekitar 14 %.

Harapan Puan agar Sumatera Barat menjadi pendukung negara Pancasila membuat banyak pihak yang terusik dan panas hati. 

Ada yang menceracau bahwa salah besar bila mengira Sumatera Barat belum Pancasilais. Himbauan ini politik identitas, celetuk mereka yang panas hati. Ada pula yang mengatakan bahwa Puan pemimpin tidak dewasa yang lupa sejarah. Founding father yang merumuskan negara Pancasila ini, banyak berasal dari Sumatera Barat, seperti Bung Hatta, M. Yamin, St. Sjahrir dan lainnya.

Himbauan Puan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah teks dan dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kita hidup dalam dunia yang penuh tafsir, apalagi dalam kehidupan politik. 

Memahami makna teks dengan ketangkasan hermeneutika akan mempengaruhi cara pandang terhadap teks itu. Literalisme atau cara baca atas teks berdasarkan makna harfiah akan berbeda bila teks dibaca dengan ketangkasan hermeneutika. 

Dengan ketangkasan hermeneutika dapat dikorek makna yang lebih dalam, bahwa himbauan Puan Maharani yang mengharap Sumatera Barat menjadi pendukung negara Pancasila sebuah himbauan yang berani, sehingga kita dapat bertanya apa yang salah dengan himbauan itu. 

Bagi saya Puan Maharani bak Sabai Nan Haluih, perempuan pemberani dalam Legenda Minangkabau. Legenda ini telah terlupakan. Pada kesempatan ini izinkan saya mengangkatnya kembali.

Sabai Nan Haluih, adalah cerita rakyat di Minangkabau yang disebut kaba. Kaba adalah genre sastra tradisional Minangkabau berupa prosa. Kaba atau cerita disampaikan secara lisan, biasanya didendangkan oleh tukang kaba. Isinya gambaran kehidupan masyarakat masa lalu dan mengandung pesan-pesan moral.

Membaca ulang berbagai kaba Minang sesuai kontek zaman sekarang maka terlihat berbagai tradisi dan pemahaman adat yang diajarkan, tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ada ketentuan-ketentuan tradisi dan ajaran yang menjajah akal sehat.

Membaca ulang kaba " Sabai Nan Haluih" dengan cara berpikir di zaman ini, maka terlihat bahwa perempuan juga bisa berani dan tangkas menyelesaikan persoalan. 

Sekalipun Minangkabau terkenal memiliki hukum kekerabatan matrilinial, tapi pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki tetap mewarnai kehidupan sosial. Pandangan ini dengan nyaman berlindung dibalik ajaran adat dan agama. sesuai dengan falsafah minang " adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah".

Bila "disigi" secara dalam, beberapa ajaran adat dan ajaran agama, memposisikan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, baik pemimpin adat maupun pemimpin agama. 

Perempuan boleh dipoligami dan bisa ditalaq sesuka hati, karena talaq adalah hak progregatif laki-laki. Pandangan ini tanpa disadari melahirkan berbagai diskriminasi dan ketidakadilan bagi perempuan dalam kehidupan sosial.

Kembali ke kaba Sabai Nan Haluih. Sabai dibesarkan dalam keluarganya secara adat Minangkabau dan agama Islam. Yang diutamakan dari pendidikan seorang anak perempuan adalah kecantikan dan perilaku. 

Tukang kaba menguraikan kecantikan Sabai secara detail dan juga menguraikan sifat dan perilaku Sabai Nan Haluih. Sabai rajin membantu pekerjaan ibunya, senantiasa mengisi waktunya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang lembut), dia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, hormat pada yang tua.

Dalam ajaran adat Minang, anak perempuan tidak pernah dipersiapkan menjadi pemimpin. Anak laki-laki yang dipersiapkan menjadi pemimpin: "Waktu kecil menjadi anak, sudah besar menjadi mamak". 

Sementara anak perempuan dipandang sebagai beban, tidak diperlakukan setara dengan saudara laki-lakinya. Suaranya tidak pernah didengar dan tidak diajak berunding membuat keputusan. Segala sesuatunya selalu di nomorduakan. 

Dalam kaba Sabai nan Haluih, tukang kaba menyampaikan dalam bentuk kiasan perbedaan perlakuan tidak setara antara anak laki-laki dan perempuan " kalau makan ikan, daging-dagingnya untuk saudara laki-laki Sabai dan tulang-tulangnya untuk si Sabai".

Jika ditilik dipandang-pandangi lalu dilihati, kononlah Raja Berbanding ayah Sabai Nan Aluih, sayangkan anak berat sebelah, kasih ke anak tidak sama, cintakan anak berbagi-bagi, Mangkutak selalu dilebihkan. Kalaulah ia pergi ke Balai, di medan menyabung ayam jika menang ayam nan kurik, daging-dagingnya untuk Mangkutak, tulang-tulangnya untuk si Sabai. Kalau ada lemang sekabung, Mangkutak jua dapat dahulu, derai-derainya bagian si Sabai, jika pergi ke tepian, Mangkutak di atas punggung kuda, si Sabai di tangan kiri..." ( Sati, 1997: 25)

Ketika Sabai nan Haluih menunjukkan keberaniannya, membalas kematian ayahnya yang kalah dalam perkelahian, Sabai menjadi legenda. Tukang kaba bercerita ;

" Mendengar ayahnya terbunuh dalam perkelahian, Sabai berlari menuju ke Padang Panahunan tempat perkelahian itu dengan membawa senapan ayahnya. Diperjalanan ketemu musuh ayahnya. Sabai dengan muka memerah menanyakan ayahnya. Musuh ayahnya menggodanya dengan mengatakan dia tambah cantik kalau lagi marah dan mengatakan bahwa ayahnya tertembak. Sabai bertambah marah sambil mengarahkan senapannya ke dada Rajo nan Panjang, musuh ayahnya itu yang tertawa terbahak-bahak mengejek Sabai nan Aluih dengan mengatakan bahwa dia perempuan, senapan bukan mainan anak perempuan dan perempuan tidak bisa pegang senapan. Sabai nan Aluih bertambah marah mendengar hinaan itu, lalu menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentuman yang sangat keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, peluru menembus dadanya".

Keberanian Sabai Nan Haluih membalas kematian ayahnya, membuat namanya menjadi legenda. Keberanian seorang perempuan rupanya mengkagetkan orang banyak. Dalam pandangan masyarakat perempuan itu lemah, halus, manja dan tidak berani menyelesaikan persoalan apalagi membalas dendam.

Ketika himbauan Puan Maharani yang mengharap Sumatera Barat menjadi pendukung negara Pancasila, bagi saya itu sebuah himbauan yang berani. Puan Maharani bak Sabai Nan Haluih, Perempuan Pemberani. Tidak ada yang salah dengan himbauan itu.


Siapa yang berani bilang kalau itu bukan sebuah sikap yang berani ?

Sumber Asli

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun