Mohon tunggu...
Marco
Marco Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sejarah - Psikologi

Sekadar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PKBM, Potensi yang Terkungkung Stigma

1 Mei 2022   19:12 Diperbarui: 5 Mei 2022   09:30 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sejumlah siswa belajar bersama seusai mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah. (ANTARA FOTO/RAFIUDDIN ABDUL RAHM via kompas.com)

PKBM? Paket C?

Apa yang terlintas dalam pikiran kalian saat mendengar hal tersebut? Beberapa orang mungkin masih merasa asing dengan PKBM. Dan ada pula anggapan yang memandang sebelah mata mengenai PKBM, khususnya Paket C.

PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), merupakan salah satu satuan pendidikan non-formal, yang berfungsi sebagai suatu wadah berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat untuk pemberdayaan potensi dalam menggerakkan pembangunan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, maupun budaya. 

PKBM menyelenggarakan program-program yang sangat beragam (dapat juga tak terbatas), yang disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kebutuhan masyarakat disekitar PKBM tersebut berada. Program-program tersebut dapat berupa Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, dan C), Pendidikan Keaksaraan, dan lain sebagainya. 

Yang jelas, apapun program yang diselenggarakan, haruslah bermakna dan bermanfaat. Tujuan PKBM sendiri adalah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan atau potensi dirinya.

Biasanya, selain memberikan materi ilmu pengetahuan, PKBM atau pendidikan kesetaraan juga memberikan materi kecakapan hidup (life skill). Dengan adanya kecakapan hidup ini, diharapkan warga belajar (sebutan untuk peserta didik di PKBM) akan mampu mandiri, bahkan mampu menciptakan lapangan usaha bagi diri mereka sendiri. 


Adapun kecakapan hidup yang diberikan oleh PKBM tergantung pada kebutuhan atau karakteristik tempat kegiatan pembelajaran berlangsung.

PKBM juga memiliki jalur pendidikan yang berjenjang, layaknya pendidikan formal, namun terdapat perbedaan dalam hal struktural. Warga belajar yang menempuh pendidikan PKBM berasal dari kalangan beragam, dan tidak ada batasan usia. 

Oleh karena itulah, kita akan kerap menjumpai orang-orang yang telah berusia dewasa (bahkan berusia puluhan tahun), sedang menempuh program Paket A, Paket B, ataupun Paket C. 

Latar belakang mereka pun berbeda-beda. Dan menurut saya, itulah salah satu penyebab timbulnya anggapan sebelah mata terhadap mereka yang menempuh pendidikan di PKBM (Paket A, B, dan C), yaitu alasan atau latar belakang mereka bersekolah di PKBM.

Selama ini, ada beberapa orang yang beranggapan bahwa mereka yang bersekolah di PKBM adalah mereka yang putus sekolah, entah itu karena faktor nakal hingga dikeluarkan di sekolah sebelumnya, atau karena tinggal kelas di sekolah sebelumnya. 

Ada pula beberapa orang yang beranggapan bahwa PKBM adalah sekolah untuk mereka yang -- mohon maaf -- kurang/tidak mampu secara ekonomi. 

Belum lagi opini dari masyarakat yang menganggap bahwa sistem dan fasilitas yang ada di PKBM tidak menunjang untuk menyelenggarakan pendidikan. Anggapan-anggapan seperti itu mungkin tidak sepenuhnya salah, namun tentu saja tidak sepenuhnya benar pula.

Menurut saya (setidaknya berdasarkan pengalaman saya), mereka yang bersekolah di PKBM tidak hanya sebatas mereka yang putus sekolah dan mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan formal. 

Karena banyak pula yang justru dengan sengaja memilih PKBM sebagai jalur pendidikannya. Ada banyak alasan yang mendasari mereka lebih memilih PKBM dibandingkan dengan sekolah formal. Seperti misalnya mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri. 

Ada pula yang ingin mengejar minat dan bakatnya. Oleh karena itulah mereka memilih "Kejar Paket" untuk mendapatkan ijazah formalnya. Sedangkan dalam kesehariannya, mereka rutin mengikuti berbagai bimbingan belajar, les, privat, kursus, dsb. 

Sudah tentu mereka mampu secara finansial, namun mereka memilih untuk bersekolah atau menyekolahkan anaknya di PKBM. Dan hal ini tentu mematahkan pandangan yang meremehkan PKBM, yang menganggap bahwa PKBM sebatas sekolah untuk mereka yang putus sekolah dan untuk mereka yang tidak mampu.

Begitupun dengan fasilitas dan sistem di PKBM. Tidak semua PKBM memiliki fasilitas yang kurang memadai dan sistem yang kurang baik. 

Sebagai contoh adalah PKBM Sanjaya, yang berlokasi di Kota Tangerang. PKBM tersebut memiliki sistem dan fasilitas yang cukup baik. Seperti misalnya adalah ruang kelas yang layak dan cukup banyak, laboratorium komputer, lapangan olahraga, ruang guru, perpustakaan, aula serba guna, tempat parkir, dan lain sebagainya. 

Belum lagi para pengajar yang linier dengan gelar kesarjanaannya. Dan PKBM Sanjaya juga kerap mengunjungi PKBM yang ada di provinsi lain dalam rangka melakukan studi banding, seperti yang mereka lakukan di penghujung tahun lalu saat mereka melakukan studi banding dengan salah satu PKBM di kota pelajar, Yogyakarta. 

Bahkan, PKBM Sanjaya juga sempat dijadikan tempat magang atau PKL (praktik kerja lapangan) oleh beberapa mahasiswa yang berasal dari salah satu universitas swasta terbaik di Indonesia.

 Selain itu PKBM Sanjaya juga pernah dijadikan tempat untuk kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) oleh beberapa mahasiswa dari salah satu universitas swasta dengan tema "Pelatihan Soft Skill".

Itu baru satu contoh saja. Karena saya yakin, selain PKBM Sanjaya, tentu masih ada PKBM-PKBM lainnya di Indonesia yang memiliki sistem dan fasilitas yang baik untuk menunjang proses pendidikan.

Jikapun masih ada PKBM yang belum memiliki sistem dan fasilitas yang baik, maka sudah sepatutnya hal tersebut segera dibenahi. Hal ini sangat penting, tidak semata untuk membuktikan kepada khalayak bahwa PKBM mampu menjadi lembaga pendidikan yang "setara" dengan pendidikan formal. 

Namun dengan warga belajar di PKBM yang semakin heterogen, maka sudah seharusnya PKBM memperhatikan sistem dan fasilitasnya. Bagaimana kita dapat mewujudkan salah satu tujuan negara, yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa", jika penyelenggara pendidikan justru tidak memperhatikan sistem dan fasilitasnya? 

Mungkin dapat diwajarkan bila masih ada masyarakat yang menganggap bahwa PKBM tidak "setara" dengan pendidikan formal. 

Mereka berasumsi seperti itu karena (mungkin) mereka tidak pernah bersinggungan dengan PKBM yang baik. Hingga akhirnya mereka menganggap bahwa PKBM hanya setara dalam hal kedudukan ijazah, tapi tidak setara dalam kualitas pendidikan.

Jika boleh berpendapat, sepatutnya peningkatan kualitas PKBM bukan hanya tugas PKBM semata. Sebagai warga masyarakat, hendaknya kita turut aktif partisipatif untuk memberikan ide, kritik, maupun saran kepada PKBM yang ada di sekitar kita (atau yang kita jumpai) agar PKBM tersebut senantiasa bergerak maju dan kompetitif. 

Sebagai contoh, jika saya berkenan untuk memberikan ide, setidaknya ada tiga kompetensi yang harus dikuasai oleh orang-orang dimasa kini, yaitu Bahasa Inggris, Komputer, dan Media Digital. Jadi, selain memperhatikan kompetensi akademik, PKBM hendaknya memperhatikan tiga kompetensi tersebut. Karena di masa sekarang ini, skill dalam tiga hal tersebut sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Belum lagi dengan teknologi yang semakin canggih, tentu akan membuat para warga belajar yang tergolong -- mohon maaf -- kurang/tidak mampu secara ekonomi akan semakin tertinggal. 

Saya tidak terbayang, bagaimana reaksi mereka para warga belajar yang memiliki akses dan pengetahuan yang terbatas, saat mendengar tentang "Metaverse, Oculus, atau NFT"?? Mungkin ada beberapa diantara mereka yang pernah mendengar tentang itu semua, namun tentu saja ada kemungkinan mereka merasa asing terhadap teknologi tersebut. 

Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang "well educated". Setidaknya mereka memiliki akses atau pengetahuan berlebih terhadap teknologi tersebut. Belum tentu? Mungkin. 

Yang jelas, ditengah perkembangan teknologi yang semakin menggila, PKBM hendaknya dapat menjadi akses bagi mereka para warga belajar akan teknologi yang sedang berkembang. 

Tidak perlu mengadakan teknologi-teknologi tersebut (karena faktor biaya), akan tetapi cukup dengan memberikan penjelasan mengenai konsep dasar dan bagaimana cara kerja teknologi itu berjalan/bekerja. Karena dengan begitu, setidaknya mereka mendapatkan informasi mengenai teknologi yang sedang berkembang.

Selain itu, dalam konteks pendidik, saya pikir para pengajar (pendidik) di PKBM hendaknya bukan lagi sebatas memberikan pengetahuan akademik semata, namun juga menjadi konsultan. Hal ini berkenaan dengan empat pilar pendidikan UNESCO yang dicetuskan oleh Jacques Delors, yaitu "learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be". 

Keempat pilar tersebut tentu akan sangat panjang bila dijabarkan. Namun secara garis besar, keempat pilar tersebut merupakan panduan perubahan pendidikan yang bertujuan untuk mengarahkan individu dalam pengetahuan, tindakan, dan keterampilan.

Dan jika berkaca pada prinsip-prinsip tersebut (keempat pilar pendidikan UNESCO), saya pikir PKBM memiliki posisi penting dalam mewujudkannya. Seperti dalam pilar pertama, yaitu learning to know, yang memiliki maksud belajar untuk mengetahui dan mencari tahu. Para pendidik di PKBM berperan sebagai fasilitator dan evaluator, yang diharapkan dapat memantik curiosity dari warga belajar. 

Dengan begitu, budaya literasi dan berpikir kritis akan terbangun. Dalam pilar kedua, yakni learning to do, bermaksud mengarahkan seseorang menggunakan pengetahuan yang didapatkannya secara praktikal di kehidupannya. 

Hal ini juga bertujuan untuk membentuk kreativitas orang tersebut. Dan peran pendidik di PKBM dapat berupa sebagai mentor maupun katalisator. Jika kedua pilar tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka tentunya akan memudahkan pilar ketiga (learning to live together) dan keempat (learning to be) untuk terwujud pula. 

Karena dengan pengetahuan dan kreativitas yang dimiliki, maka akan memudahkan warga belajar PKBM dalam hidup bersama orang lain (pilar ketiga, learning to live together), dan juga dalam menemukan jati diri sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki (pilar keempat, learning to be).

Sebagai penutup dari tulisan ini, izinkan saya menyampaikan pertanyaan yang kerap terlintas dibenak saya.

"Bagaimana peran PKBM terhadap salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu tujuan nomor 4?? Apakah cukup membantu secara signifikan??".

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan salah satu agenda internasional dari United Nations (PBB). SDGs sendiri memiliki 17 tujuan, yang berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesetaraan masyarakat dunia, dengan target tercapainya adalah tahun 2030.

Dalam tujuan nomor 4, yaitu pendidikan bermutu (quality education), menghendaki pendidikan yang berkualitas dan dapat dijangkau oleh semua orang. 

Sudah tentu ini merupakan hal yang sangat penting, karena memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas hidup masyarakat. Oleh karenanya, jika saja PKBM-PKBM secara serentak mampu menyelenggarakan pendidikan dengan sistem dan fasilitas yang baik, dengan berpedoman (atau setidaknya memperhatikan) empat pilar pendidikan UNESCO.

Maka PKBM dapat dikatakan memiliki peranan penting dalam mewujudkan tujuan nomor 4 dari Sustainable Development Goals (SDGs) tersebut. Bukan hal yang mudah, tentu saja, namun bukan berarti tidak mungkin. Dan sudah menjadi tugas kita bersama untuk membantu mewujudkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun