Mohon tunggu...
Marchelino Joshua
Marchelino Joshua Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

masih belajar nulis...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Darurat Konsep Seni

19 April 2020   11:35 Diperbarui: 19 April 2020   11:29 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah benar seni tidak hanya perkara keindahan? Jawabannya mungkin ya dan mungkin juga tidak. Jawaban setiap orang atas pertanyaan tersebut bisa sangat beragam. Namun yang jelas kita bisa mengelompokkan jawaban-jawaban tersebut ke dalam dua kategori besar: (1) Jawaban dari orang-orang yang "memahami" seni, dan (2) Jawaban dari orang-orang yang sok nyeni atau bahkan tidak peduli sama sekali. Jawaban dari kategori orang yang pertama akan cenderung mengafirmasi judul di atas dan sebaliknya, jawaban dari kategori orang yang kedua akan cenderung menegasinya. Namun apa daya, di Indonesia sendiri, jumlah orang-orang kategori kedua lebih banyak daripada yang pertama. Sistem pendidikan kita terlanjur menomorsekiankan peran seni. 

Lantas apa yang menyebabkan posisi seni dalam rangka pendidikan manusia dinomorsekiankan? Jawabannya sepertinya akan sangat klise, yakni seni hanyalah soal keindahan, tidak lebih. Kaum-kaum anti seni mungkin akan berpendapat, "Apa sih yang bisa diberikan oleh seni?", "Memangnya kamu bisa makan apa dengan seni?", dan bahkan "Kamu itu orang gila ya? Kok malah mengutamakan seni?". Situasi dunia - yang nampaknya sedang dimonopoli oleh kaum kapitalis - menyebabkan seni hanya bisa dipahami dan dinikmati oleh golongan-golongan tertentu saja. Sementara itu, dunia yang didominasi oleh orang-orang dunia ketiga sedang sibuk memikirkan bagaimana caranya agar mereka masih bertahan di hidup di keesokan harinya. Karenanya, sistem pendidikan yang ada pun mengikuti pola pikir mayoritas tersebut. Sistem pendidikan yang ada akan mengutamakan keterampilan-keterampilan yang sekiranya bisa membantu orang untuk bertahan hidup lebih lama. Lagi-lagi, tidak ada ruang untuk seni, seni hanyalah omong kosong belaka. 

Sesungguhnya, seni tidaklah se-sepele yang dikira oleh banyak orang. Ketika kita membicarakan seni, kita sedang membicarakan tentang cara berpikir manusia. Inilah hal yang paling fundamental dari seni, yakni membentuk pola pikir manusia. Namun sekali lagi, sistem pendidikan yang keliru mereduksi makna seni sehingga hanya terbatas pada barang pajangan nan indah saja. Makna seni yang harusnya kompleks dan elegan tak ubahnya menjadi hanya sekadar barang. Bahkan lebih parahnya lagi, kerap kali seni dijadikan sebagai siasat komunikasi pemasaran, semacam strategi pembiusan demi meraih berbagai keuntungan. Padahal, dengan sifatnya yang membentuk pola pikir manusia, seni seharusnya dan memang memainkan peran penting dalam peradaban. Pada dasaranya, peradaban adalah sebuah seri pengalaman hidup manusia dan persoalan bagaimana manusia memaknai pengalamannya tersebut. Pemaknaan manusia atas pengalaman itulah yang menentukan laju peradaban, apakah akan mundur, diam di tempat, atau maju. 

Seni menawarkan persepsi-persepsi untuk manusia gunakan dalam rangka memaknai pengalaman tersebut. Seni selalu dikaitkan dengan kata "estetika", yang dalam bahasa Yunani adalah "aesthesis". Aisthesis sendiri berarti persepsi. Sampai pada titik ini, setidaknya kita sudah bisa mulai memahami bahwa seni tidak selalu berkaitan dengan keindahan, melainkan berkaitan dengan persepsi. Sebenarnya, persepsi yang ditawarkan oleh seni juga ditawarkan oleh banyak disiplin ilmu. Di antara disiplin-disiplin ilmu itu, ada beberapa yang bahkan kini menjadi kiblat peradaban, sebut saja sains. Sains kini menjadi primadona peradaban. Selain karena menjanjikan "masa depan yang cerah" bagi para peminatnya, sains diminati karena sifatnya yang memberi kepastian. Persepsi "kepastian" yang dibuat oleh sains sangat jauh berbeda dari apa yang ditawarkan oleh persepsi seni yang nyeleneh katanya. Namun sesungguhnya inilah kecacatan mendasar disiplin-disiplin ilmiah tersebut, mereka gagal dalam memaknai apa itu pengalaman. 

Pengalaman harus diyakini sebagai sesuatu yang kaya dan kompleks. Pengalaman adalah sesuatu yang terberi dan karenanya pengalaman akan selalu lebih luas dan dalam dari apa yang bisa manusia sangka. Inilah pengalaman sebagai suatu fenomena. Ruth Bernhard -- fotografer -- pernah berkata "Jika anda puas dengan apa yang anda lihat, maka anda tidak melihat apa pun." Karena sifatnya yang kompleks, kaya, luas, serta dalam itulah, manusia tidak bisa memutlakkan apa yang telah ia dapatkan dari pengalaman itu. Manusia harus merendahkan hatinya karena apa yang mereka dapatkan dari pengalaman itu hanya secuil saja. Jika mereka berusaha untuk mencari sesuatu yang baru dari pengalaman itu, mereka akan terus menemukannya, dan akan terus demikian. Sains, agama, moral -- sayangnya -- malah berusaha untuk memutlakkan satu persepsi saja. Akibatnya, manusia terjebak dalam penilaian yang hanya berdasarkan persepsi itu saja. Misalnya, apabila agama menyatakan bahwa minum minuman keras itu haram, maka sulit bagi manusia yang menganut agama tersebut untuk menerima bahwa minuman keras adalah sesuatu yang baik, sesuatu yang dihasilkan dari perhitungan presisi percampuran antara kerasnya alkohol dan lembutnya rasa, yang bisa menimbulkan sensasi melayang. 

Sebaliknya, seni adalah cara yang sangat unik dalam menafsir dan memaknai pengalaman itu. Seni tidak akan pernah memutlakkan salah satu persepsi saja. Di dalam seni, manusia bebas mengeksplor pengalaman-pengalaman tersebut sejauh yang ia mampu. Keunikan seni dalam menawarkan persepsi ini menghasilkan suatu sistem penilaian yang unik juga. Kita tidak akan menjumpai suatu pengalaman yang salah ataupun yang benar, pengalaman yang baik ataupun yang buruk, dan pengalaman yang halal ataupun yang haram di dalam seni. Satu-satunya parameter yang akan kita jumpai dalam seni adalah mendalam atau tidaknya pemaknaan kita atas pengalaman tersebut. Kini semakin jelaslah bahwa seni bukanlah perkara "keindahan" fisik yang lazim dikira orang, melainkan "kebenaran". 

Atas kritiknya terhadap disiplin-disiplin ilmiah yang berusaha untuk memutlakkan satu persepsi saja, seni juga menyadari keterbatasannya. Seni, yang meyakini bahwa pengalaman sebagai sesuatu yang kompleks, kaya, luas, serta dalam, juga menyadari bahwa pengalaman itu tidak akan pernah bisa dijelaskan secara holistik, sekalipun banyaknya persepsi yang ditawarkan oleh seni. Kekayaan makna atas pengalaman itu memang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan, melainkan hanya bisa dilukiskan, untuk kemudian dipahami. Dalam kaitannya dengan hal ini, Heidegger menyebut seni sebagai poiesis (Yunani) yang berarti menampilkan. Kekuatan seni terletak pada usahanya untuk memperlihatkan apa yang tak kelihatan, sekalipun apa yang ia perlihatkan juga tidak pernah sempurna. Meskipun demikian, sepertinya seni jauh lebih baik dalam menafsirkan pengalaman. Kekayaan penafsiran atas pengalaman itulah yang nantinya akan membantu manusia dalam menentukan laju dan arah peradaban. Kekayaan makna itulah yang harus merasuki pikiran setiap orang sehingga tidak ada lagi yang namanya klaim kebenaran sepihak. Kekayaan makna itulah yang pada akhirnya akan semakin memanusiakan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun