Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hening Sejenak, Hidup Lebih Utuh: Pentingnya Refleksi Harian

7 September 2025   08:21 Diperbarui: 7 September 2025   08:21 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta pada jam pulang kantor, lampu lalu lintas berderet menyala merah. Mobil-mobil berhenti, klakson bersahutan, dan wajah-wajah lelah tampak dari balik kaca jendela. Sebagian orang masih sibuk dengan gawai, membalas pesan atau menatap layar seakan mencari pelarian. Namun di balik kesibukan itu, terselip pertanyaan sederhana: kapan terakhir kali kita berhenti sejenak, hening, dan menengok ke dalam diri?

Refleksi harian sering dianggap hal kecil, bahkan sepele. Orang lebih sibuk mengejar target, menyelesaikan pekerjaan, atau sekadar menunaikan kewajiban. Padahal, di sela kehidupan yang serba cepat, berhenti sejenak untuk menatap ke dalam justru bisa menjadi kunci keseimbangan batin. Refleksi bukan sekadar mengingat apa yang terjadi, melainkan proses memahami, memberi makna, dan menata langkah berikutnya.

Fenomena ini menjadi semakin relevan di era digital. Saat notifikasi tak berhenti berdenting, pikiran mudah terpecah dan energi cepat terkuras. Tanpa refleksi, manusia cenderung berjalan seperti "robot hidup" yang sekadar menunaikan rutinitas tanpa rasa. Refleksi harian memberi ruang agar manusia tidak kehilangan dirinya sendiri.

Mengapa Refleksi Itu Penting?

Manusia bukan hanya makhluk yang bekerja, melainkan juga makhluk yang mencari makna. Viktor Frankl, psikiater asal Austria yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, pernah menulis bahwa hidup akan kehilangan arah bila manusia tidak menemukan "mengapa" di balik tindakannya. Refleksi adalah jalan untuk menemukan "mengapa" itu.

Ketika seseorang meluangkan waktu merenung setiap hari, ia belajar membaca ulang peristiwa dengan kacamata yang lebih dalam. Apa yang semula tampak sebagai kegagalan bisa berubah menjadi pelajaran. Apa yang tadinya sekadar keberhasilan kecil bisa dipandang sebagai berkah yang layak dirayakan. Refleksi mengubah peristiwa menjadi pengalaman bermakna.

Selain itu, refleksi membantu seseorang terhindar dari autopilot. Banyak orang menjalani hari dengan pola yang sama: bangun, bekerja, pulang, tidur. Tanpa refleksi, hidup bisa terasa datar, tanpa arah, atau justru penuh kecemasan. Dengan refleksi, manusia diajak berhenti sejenak dan menyadari: "Apa yang sesungguhnya terjadi padaku hari ini?"

Tradisi Lama, Relevansi Baru

Sejatinya, refleksi bukan hal baru. Hampir semua tradisi spiritual menekankan praktik perenungan. Filsuf Yunani kuno, Socrates, pernah mengatakan, "Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dijalani." Dalam tradisi Timur, meditasi diajarkan sebagai seni menyatu dengan kesadaran terdalam.

Di Indonesia, praktik semedi atau tapa brata menjadi bagian dari kebijaksanaan lokal. Para leluhur percaya bahwa hening bukan berarti kosong, melainkan jalan menuju kejernihan. Di zaman modern, nilai itu tetap bisa dipelajari, meski dalam format sederhana dan singkat. Refleksi harian adalah bentuk semedi kecil, yang bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, bahkan hanya dalam 10 menit.

Ruang untuk Menyembuhkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun