Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wisuda SD-SMA, Perlukah? Tradisi Seremonial atau Investasi Psikologis?

4 Mei 2025   14:22 Diperbarui: 4 Mei 2025   20:51 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diambil dari https://www.shutterstock.com/

Di tengah sorotan terhadap sistem pendidikan yang terus berubah, perayaan wisuda pada jenjang pendidikan dasar dan menengah kerap memicu perdebatan. Mengapa anak usia belia perlu memakai toga? Apakah ini hanya upaya instan menyenangkan orang tua dan memenuhi tren sosial, atau ada makna lebih dalam di baliknya? Dalam masyarakat yang makin terobsesi pada capaian dan gelar, apakah wisuda masih relevan untuk anak-anak yang bahkan baru lulus dari Sekolah Dasar?

Sementara sebagian pihak menganggapnya sekadar formalitas seremonial yang membebani anggaran orang tua, banyak pula yang melihatnya sebagai pengalaman emosional dan simbolis yang membekas dalam benak peserta didik. Artikel ini ingin menelaah wisuda dari berbagai perspektif---historis, filosofis, sosial budaya, dan psikologis---untuk menjawab pertanyaan kunci: Apakah wisuda di tingkat SD-SMA merupakan kebutuhan sejati dalam proses pendidikan, atau sekadar seremoni tanpa makna yang sebaiknya ditinggalkan?

Sejarah dan Etimologi Wisuda

Kata "wisuda" berasal dari bahasa Sanskerta "wisuda" yang berarti pelepasan atau pembebasan. Dalam konteks pendidikan, istilah ini melambangkan momentum transisi---baik secara simbolik maupun fungsional---dari satu fase belajar ke fase berikutnya. Konsep ini berakar kuat dalam tradisi Timur, namun penerapannya dalam dunia pendidikan modern banyak dipengaruhi oleh model Barat.

Tradisi wisuda secara formal pertama kali muncul pada abad ke-12 di Eropa, terutama di universitas-universitas seperti Bologna di Italia dan Paris di Prancis. Pada masa itu, wisuda merupakan seremoni akademik yang sangat sakral, menandai pengukuhan status ilmuwan atau sarjana. Mahamurid yang lulus diberikan hak untuk mengajar, sebuah hak istimewa yang hanya diperoleh melalui ritual kelulusan. Dalam konteks ini, wisuda bukan sekadar simbol, tetapi juga pemberian otoritas sosial dan akademik (Brownielocks, n.d.).

Seiring penyebaran sistem pendidikan Barat melalui kolonialisme dan globalisasi, ritus wisuda diadaptasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Pada awal abad ke-20, sekolah-sekolah di Hindia Belanda mulai menerapkan struktur pendidikan formal, dan seiring waktu, seremoni wisuda pun diperkenalkan, awalnya hanya di jenjang perguruan tinggi. Namun kini, ia telah meluas ke jenjang dasar dan menengah sebagai bagian dari modernisasi pendidikan sekaligus kebutuhan simbolik masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan bahwa wisuda telah mengalami transformasi makna dari yang awalnya eksklusif dan akademik, menjadi lebih inklusif dan sosial-kultural. Ia tidak lagi hanya berbicara tentang legalitas akademik, tetapi juga perayaan kolektif, ekspresi budaya, dan artikulasi nilai-nilai keluarga serta komunitas lokal.

Makna Filosofis dan Sosial Budaya

Secara filosofis, wisuda merupakan bentuk ritual yang mencerminkan momen liminal dalam kehidupan seseorang---suatu transisi antara masa kanak-kanak ke masa remaja, atau dari remaja menuju dewasa. Victor Turner (1969) menyebutkan bahwa ritus peralihan seperti wisuda memainkan peran penting dalam membentuk struktur dan anti-struktur dalam masyarakat, di mana individu mengalami pelepasan dari status lama dan menerima status baru dengan pengakuan sosial. Dalam pendidikan, momentum ini memperkuat perasaan pencapaian dan identitas diri murid.

Dari sisi budaya, wisuda adalah bagian dari praksis sosial yang menyatukan komunitas---keluarga, sekolah, dan masyarakat. Momen ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk merayakan perjuangan anak mereka dan memperkuat nilai bahwa pendidikan adalah suatu prestasi yang layak diapresiasi secara kolektif. Dalam budaya Asia, termasuk Indonesia, penghargaan terhadap capaian akademik memiliki makna sosial yang besar, dan wisuda menjadi salah satu bentuk aktualisasi nilai tersebut.

Di lingkungan yang kurang akses terhadap penghargaan formal, wisuda di tingkat dasar dan menengah juga menjadi bentuk pengakuan simbolik yang memberi semangat bagi anak-anak dan keluarga mereka. Sebuah studi oleh Snchez (2024) menunjukkan bahwa wisuda, khususnya pada murid dari latar belakang minoritas atau keluarga berpendidikan rendah, memberikan afirmasi sosial bahwa mereka layak untuk bermimpi dan berprestasi lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun