Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sakit Hati Bukan Ulah Orang lain, Tapi adalah Pilihan Kita

11 Desember 2024   05:00 Diperbarui: 11 Desember 2024   09:42 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari https://www.shutterstock.com/

Sakit hati sering kali dianggap sebagai bagian tak terhindarkan dari pengalaman emosional manusia, yang datang seiring dengan interaksi sosial kita. Ketika seseorang mengungkapkan kata-kata yang menyakitkan, mengabaikan kita, atau melakukan tindakan yang dianggap tidak adil, kita cenderung merasa terluka dan marah. 

Dalam kondisi seperti ini, kita sering kali menyalahkan orang lain atas rasa sakit yang kita rasakan, dengan berpikir bahwa mereka yang bertanggung jawab atas emosi negatif kita. Namun, apakah benar bahwa sakit hati sepenuhnya disebabkan oleh tindakan orang lain? Ataukah, sebenarnya, sakit hati lebih berkaitan dengan cara kita memproses dan menafsirkan situasi tersebut dalam pikiran kita?

Pandangan ini sejalan dengan banyak teori psikologi modern yang menyatakan bahwa rasa sakit emosional lebih dipengaruhi oleh persepsi dan keyakinan internal kita, bukan semata-mata oleh tindakan eksternal orang lain. Misalnya, teori kognitif yang dikembangkan oleh Aaron Beck dan Albert Ellis menyoroti pentingnya cara kita berpikir tentang situasi tertentu dalam menentukan respons emosional kita. 

Mereka berpendapat bahwa kita sering kali memberikan makna yang berlebihan atau salah terhadap peristiwa yang terjadi, yang kemudian memicu rasa sakit emosional yang dalam. Dengan kata lain, situasi itu sendiri tidak bisa dianggap sebagai penyebab langsung dari sakit hati, melainkan cara kita menafsirkan dan mengaitkannya dengan keyakinan internal kita yang menjadi pemicu utama.

Pentingnya pemahaman ini adalah bahwa kita sebenarnya memiliki kendali atas pikiran dan interpretasi kita. Ketika kita mampu mengubah cara kita memandang suatu peristiwa atau respons orang lain, kita dapat mengurangi dampak emosionalnya. Hal ini memberi kita kekuatan untuk mengelola sakit hati secara lebih efektif dan menemukan cara untuk tidak terjebak dalam perasaan negatif yang tak produktif. Dengan mengasah kemampuan untuk mengontrol pikiran kita, kita bisa lebih bijak dalam menghadapi berbagai situasi dan lebih cepat pulih dari rasa sakit emosional yang mungkin timbul.

Sakit Hati Berakar dari Diri Sendiri

Rasa sakit emosional sering kali dianggap sebagai sesuatu yang "dilakukan" oleh orang lain kepada kita, tetapi psikologi modern memberikan perspektif berbeda. Menurut Ellis (1994), emosi negatif seperti sakit hati bukan berasal dari tindakan orang lain, melainkan dari "keyakinan irasional" yang kita pegang tentang tindakan tersebut. 

Misalnya, jika seseorang mengkritik pekerjaan kita, kita mungkin merasa sakit hati karena kita mempercayai bahwa kritik itu berarti kita tidak kompeten. Namun, dalam banyak kasus, kritik hanyalah umpan balik yang netral---emosi kita terhadapnya berasal dari interpretasi kita sendiri.

Psikolog modern seperti Bren Brown juga menekankan pentingnya "kerentanan emosional" dalam hubungan manusia. Brown berpendapat bahwa sakit hati sering muncul ketika kita membiarkan diri kita terlalu bergantung pada validasi eksternal, seperti pujian atau pengakuan dari orang lain. 

Ketika validasi itu tidak diberikan, kita cenderung merasa terluka, padahal perasaan tersebut sebenarnya muncul dari kebutuhan internal kita sendiri, bukan dari apa yang orang lain lakukan atau tidak lakukan.

Selain itu, pandangan tentang "psikologi diri" yang diusulkan oleh Heinz Kohut menyatakan bahwa cara kita merespons tindakan orang lain sangat dipengaruhi oleh struktur diri kita sendiri. Jika seseorang memiliki harga diri yang kuat dan stabil, tindakan atau komentar yang tidak menyenangkan dari orang lain mungkin tidak akan terlalu berpengaruh. Sebaliknya, jika harga diri seseorang rapuh, tindakan kecil sekalipun dapat memicu reaksi emosional yang berlebihan.

Pendekatan mindfulness dalam psikologi, seperti yang diajarkan oleh Jon Kabat-Zinn, juga mendukung gagasan ini. Dengan mempraktikkan kesadaran penuh, kita diajak untuk mengamati emosi kita tanpa menghakimi, sehingga kita dapat mengenali bahwa rasa sakit emosional hanyalah sensasi sementara yang tidak harus mendefinisikan pengalaman kita secara keseluruhan. Teknik ini mengajarkan bahwa emosi, termasuk sakit hati, dapat dikelola dengan mengubah fokus dan pola pikir kita.

Contoh Kasus dalam Kehidupan Sehari-Hari

Contoh konkret tentang bagaimana sakit hati adalah hasil dari interpretasi kita dapat ditemukan di berbagai konteks kehidupan. Di tempat kerja, misalnya, seorang karyawan mungkin merasa sakit hati ketika atasannya memberikan kritik keras terhadap proyek yang telah dia kerjakan dengan susah payah. 

Sakit hati ini biasanya muncul bukan karena kata-kata atasan itu sendiri, melainkan karena karyawan tersebut menganggap kritik tersebut sebagai serangan terhadap nilai dirinya. Jika dia mampu melihat kritik tersebut sebagai peluang untuk belajar dan berkembang, maka rasa sakit itu bisa diminimalkan.

Dalam hubungan personal, sakit hati sering terjadi ketika pasangan atau teman dekat mengatakan sesuatu yang tidak peka. Misalnya, jika seorang teman bercanda tentang kelemahan kita, kita mungkin merasa tersinggung karena kita mempersepsikan komentar itu sebagai penghinaan, padahal teman tersebut mungkin hanya bermaksud bercanda tanpa niat buruk. Dengan mengganti asumsi negatif tersebut dengan pemahaman bahwa teman itu tidak berniat melukai, kita bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan.

Begitu pula dalam hubungan romantis, pasangan yang lupa memperingati hari jadi mungkin dianggap tidak peduli atau kurang mencintai. Namun, jika kita mengganti interpretasi itu dengan pemahaman bahwa lupa adalah sifat manusiawi, kita bisa menghindari konflik yang tidak perlu. Dalam setiap situasi ini, rasa sakit hati bergantung pada interpretasi internal kita, bukan pada tindakan orang lain.

Strategi untuk Mengelola Sakit Hati

Mengatasi rasa sakit hati memerlukan pendekatan yang proaktif dan penuh kesadaran. Salah satu strategi yang sangat efektif adalah melatih empati. Dengan mencoba melihat situasi dari sudut pandang orang lain, kita dapat mengurangi asumsi negatif yang sering kali memperburuk rasa sakit hati. Sebagai contoh, seorang kolega yang berbicara dengan nada keras mungkin melakukannya karena stres, bukan karena ingin menyakiti.

Selain itu, mengubah perspektif atau "reframing" adalah alat yang kuat untuk mengelola emosi. Ketika kita menghadapi situasi yang membuat kita merasa sakit hati, kita bisa bertanya pada diri sendiri, "Apa interpretasi alternatif yang lebih netral atau positif dari situasi ini?" Latihan ini dapat membantu kita menciptakan respons emosional yang lebih sehat.

Komunikasi yang terbuka juga merupakan kunci. Banyak sakit hati muncul dari asumsi yang salah atau kesalahpahaman. Dengan berbicara langsung kepada orang yang kita anggap "penyebab" rasa sakit hati, kita dapat mengklarifikasi niat mereka dan mencegah perasaan negatif berkembang lebih jauh.

Catatan Akhir

Sakit hati, meskipun sering kali terasa tidak terhindarkan, sebenarnya adalah hasil dari cara kita menafsirkan situasi, bukan karena tindakan orang lain semata. Psikologi modern menunjukkan bahwa dengan mengubah perspektif dan meningkatkan kesadaran diri, kita dapat mengelola emosi ini dengan lebih baik. 

Sebagaimana ditekankan dalam teori psikologi kognitif dan pendekatan mindfulness, kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita merespons pengalaman emosional. Dengan demikian, rasa sakit hati bukanlah sesuatu yang harus kita hindari atau lawan, tetapi sesuatu yang bisa kita pelajari untuk diatasi dan dipahami. Dengan bertanggung jawab atas perasaan kita sendiri, kita membuka jalan menuju kesejahteraan emosional yang lebih baik. ***

Referensi

Brown, B. (2012). Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead. Penguin Random House.
Ellis, A. (1994). Reason and Emotion in Psychotherapy. Citadel Press.
Kabat-Zinn, J. (1990). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Delacorte.
Kohut, H. (1977). The Restoration of the Self. International Universities Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun