Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sirih Pinang Dulu, Baru Bicara

29 September 2020   22:05 Diperbarui: 15 April 2022   22:53 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentuk sirih pinang yang dijajakan di Papua Barat (Marahalim Siagian)

Sirih-pinang, begitu biasanya disebut, adalah kudapan sehari-hari yang populer di Papua Barat pada kalangan tua dan mudanya. 

Selain di Papua, komunitas penikmat sirih di Indonesia cukup banyak. Di Indonesia bagian barat, bagian sirih yang dikonsumsi adalah daunnya.

Sementara komunitas penikmat sirih di Indonesia bagian tengah dan timur lebih suka buah sirihnya.

Komunitas penikmat sirih di Indonesia bagian barat antara lain, Batak, Melayu, Talang Mamak, hingga Minangkabau.

Jika kita elaborasi lebih jauh, komunitas penikmat sirih yang masih bertahan hingga 'jaman now' adalah komunitas Karo, Batak Toba, Simalungun hingga Dairi yang berbatasan dengan Aceh. Jumlahnya sekarang sudah jauh berkurang, orang muda sudah malu menyirih.

Moda transportasi untuk menjangkau distrik-distrik yang berada di Teluk Bintuni Papua Barat (Marahalim Siagian)
Moda transportasi untuk menjangkau distrik-distrik yang berada di Teluk Bintuni Papua Barat (Marahalim Siagian)
Kerja lapangan di sejumlah distrik di Papua Barat (Dokpri)
Kerja lapangan di sejumlah distrik di Papua Barat (Dokpri)
Sirih bukan hanya kudapan sehari-hari. Sirih juga berguna untuk kesehatan. Zat yang dikandung sirih dapat menjaga higienitas mulut serta kesehatan gigi.

Lebih dari itu, sirih pinang posisinya tidak terlepas dari adat-istiadat masyarakat kita. 

Dalam pergaulan sehari-hari, fungsi sosial sirih, serupa kabel untuk menjalin pertemanan baru. Tawarkanlah sirih pinang dahulu baru terasa lancar membuka percakapan dengan orang lain.

**

Jika komunitas penikmat sirih di bagian Indonesia barat lebih suka mengunyah daunnya, di Indonesia bagin tengah dan timur, bagian sirih yang dimakan adalah buahnya.

Buah sirih yang masih segar warnanya hijau, panjang dan besarnya sedikit lebih besar dari cabe keriting.

Pemandangan seperti ini juga biasa terliht di area parkir bandara (Marahalim Siagian)
Pemandangan seperti ini juga biasa terliht di area parkir bandara (Marahalim Siagian)
Komunitas penikmat sirih di Indonesia bagian tengah antara lain, orang Kaili yang mendiami teluk  Palu, Sigi hingga dataran tinggi Donggala.

Mereka ini, walaupun secara umum disebut orang Kaili atau 'To Kaili', pada dasarnya adalah sub etinik yang beragam. Kaili Rai, Kaili Ledo, Kaili Da'a, Kaili Tara, Kaili Doi, Kaili Ija, Kaili Unde, hingga Kaili Bunggu di dataran tinggi Donggala hingga Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Uniknya, semua kata yang berada di depan kata Kaili artinya adalah 'tidak'. Jadi, ada banyak macam bahasa dalam rumpun Kaili untuk mengatakan kata tidak.

**

Dari Manokwari ibukota Papua Barat menggunakan pesawat twin otter ke Teluk Bintuni (Dokpri)
Dari Manokwari ibukota Papua Barat menggunakan pesawat twin otter ke Teluk Bintuni (Dokpri)

Papua Barat, surganya penikmat sirih

Mengapa saya sebut surganya penikmat sirih? Mulai dari Manokwari-ibu kota Papua Barat hingga distrik-distrik di Papua Barat, tua dan muda, mengunyah sirih di rumah, di halaman, di jalan, di kampus, di bandara, hingga di kantor-kantor pemerintah. 

Di Kantor Bupati Teluk Bintuni misalnya, saya tidak menemukan tempat membuang puntung dan abu rokok, yang ada justru tempat untuk membuang air sirih.

Jika di komunitas Indonesia bagian barat kaum mudanya sudah malu mengunyah sirih, orang Papua, tua dan muda, justry tetap bangga mengunyah sirih. 

Banyak anekdot yang saya dengar yang mengisahkan seputar mahasiwa/i yang ditegur dosen karena mengunyah sirih di kampus.

Bukanya surut menyirih, si mahasiwa/i kukuh menyirih dengan dalil menyirih adalah bagian dari identitas orang Papua.

Pengumuman di depan sekolah PAUD di Distrik Aroba Teluk Bintuni Papua Barat (Gambar: Marahalim Siagian)
Pengumuman di depan sekolah PAUD di Distrik Aroba Teluk Bintuni Papua Barat (Gambar: Marahalim Siagian)
Cukup berbeda dengan yang komunitas inang-inang dan ompung-ompung Batak Toba-sekarang lebih banyak dikalangan ompung-ompung (nenek-nenek)--,umumnya melakukan hajat mengunyah sirih ini secara bersama-sama, mengelompok di antara sesama penikmat sirih. Hal serupa juga saya lihat di Karo.

Nande-nande di Karo yang sedang berjualan di pasar,  kalau mereka ingin menyirih, mereka memilih mengelompok. Kurang gambir bisa minta sedikit sama teman, sebalinya bisa kasih kapur ke yang lain yang kekukurangan kapur sirih. Asyik lihatnya.

Di pasar-pasar tradisional yang ada di Papua Barat, cukup mudah menemukan penjul sirih pinang, hampir di setiap gang yang memisahkan lapak-lapak para pedagang itu ada penjual sirih pinang.

Konsumsi pinang yang tinggi di Papua Barat membuat pisang masuk dari daerah lain (Gambar: Marahalim Siagian)
Konsumsi pinang yang tinggi di Papua Barat membuat pisang masuk dari daerah lain (Gambar: Marahalim Siagian)
Sirih pinang itu dijajakan bertumpuk-tumpuk, disusun dengan cermat, sehingga komposisi antar tumpukan itu sama persis.

Selain yang dijajakan dalam bentuk yang sudah ditumpuk, pinang muda dalam mayangnya juga banyak yang jual. 

Konsumsi pinang yang tinggi di Papua membuat pinang dari daerah lain masuk, umumnya pinang yang sudah diiris-iris, dikeringkan, sehinga tampak seperti uang koin.

Bentuk sirih pinang yang dijajakan di Papua Barat (Marahalim Siagian)
Bentuk sirih pinang yang dijajakan di Papua Barat (Marahalim Siagian)
Keluar dari pasar tradisional, penjual sirih pinang bisa ditemukan diperhentian-perhentian perahu motor. Kalau sudah di dalam kampung sirh pinang banyak. 

Orang Papua menanam pinang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, jika kurang bisa beli di pasar. Pinang itu, seperti disebut di atas, masuk dari daerah lain karena konsumsi pinang di Papua cukup tinggi.

Daging rusa dalam bentuk kering dijual di pasar-pasar tradisional Papua Barat. Rusa bukan hewan endemik Papua, populasinya yang meledak membuat rusa menjadi hama dan santapan masyarakat (Gambar: Marahalim Siagian)
Daging rusa dalam bentuk kering dijual di pasar-pasar tradisional Papua Barat. Rusa bukan hewan endemik Papua, populasinya yang meledak membuat rusa menjadi hama dan santapan masyarakat (Gambar: Marahalim Siagian)

Sirusu, balai pertemuan

Sirusu adalah tempat menyelenggarakan rapat urusan desa dan urusan adat. Kurang lebih sama dengan bangunan pemerintah yang disebut balai desa. Bedanya dengan balai desa mungkin pada falsafah kontruksi bangunan. 

Umumnya balai desa adalah arsitektur yang agak 'sekuler', sementara Sirusu dibangun dengan cara berbeda, penempatan ruang dan kontruksinya berakar pada adat setempat.

Kita lanjut dulu ke sirih pinang ya!

Pemukiman orang Papua Barat di Teluk Bintuni (Gambar: Marahalim Siagian)
Pemukiman orang Papua Barat di Teluk Bintuni (Gambar: Marahalim Siagian)
Tamu yang memiliki dua urusan di atas (urusan desa dan adat) biasanya di jamu di Sirusu.

Penting untuk membawa sirih pinang untuk ditawarkan ke orang-orang yang datang hanya mendengar, berpatisipasi langsung terutama para tokoh yang akan mengambil keputusan rapat.  

Gambar: Marahalim Siagian
Gambar: Marahalim Siagian
Hal ini tampak sepele dan bisa tidak terpikirkan sebelumnya, namun acapkali berguna untuk membuka pembicaraan yang akrab, khususnya dalam percakapan bebas sebelum rapat di gelar.

Jika dua orang atau lebih sudah akrab, segera terbit kepercayaan, kepercayaan mempermudah urusan.

Sirih pinang dulu, baru bicara. ***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun