Bila di tahun 1910 ekspor karet budidaya masih nol, sepuluh tahun kemudian (1920) karet rakyat yang diekspor jumlahnya telah mencapai 4.888 ton.
Berbeda dengan di Sumatera Timur (baca: saat ini jadi Provinsi Sumatera Utara), budidaya karet muncul dari inisiatif swasta. Sementara di Jambi, perluasan karet dilakukan oleh penduduk dengan cara membuka hutan tiap tahun, menggunakan tenaga dan modal mereka sendiri.Â
Mutu karet merosot
Pemerintah kolonial sampai membentuk badan penelitian pemalsuan karet pada tanggal 2 Mei 1929. Badan itu mengeluarkan aturan bahwa:(i).pencetakan getah (slabs) tebalnya tidak boleh lebih dari 3 cm. (ii). Slabs harus dikirim dalam bentuk kering (iii) Bahan pengadukan getah karet hanya dibenarkan dengan tawas dan pencampuran 'tatal' tidak dibenarkan.
Namun, aturan ini tidak begitu dipatuhi, karena yang melakukan pemalsuan karet biasanya bukan pemilik kebun, melainkan "anak buah motong" (orang yang menyadap pohon karet orang lain dengan bagi hasil), sehingga ekspor karet dilakukan dengan dua kondisi: karet basah dan karet kering. Data ekspor Jambi tahun 1930-1935 (Nasruddin 1989:317) menunjukkan dua kondisi itu.

Ekspor rotan sego tahun 1931 sebesar 4.025 ton. Tahun berikutnya, rotan sego 5.268 ton dan rotan batang 337.537 ton. Di tahun 1934, ekpor rotan batang 376.027 ton lalu setelah tahun 1935, hanya ada 2.000 ton saja. Â Data eksport Jambi tahun 1910 (Beknopte nota over de afdeeling Djambi, W.H. Keuchenius, 1912)

Setelah harga karet kembali naik. Tahun 1935, pemerintah kolonial melakukan penataan kualitas karet rakyat. Sensus dilakukan untuk mengetahui jumlah petani yang memiliki kebun karet dan jumlah pohon karet yang mereka miliki.
Sensus mencatat ada 43.149 petani yang memiliki kebun karet dan 67 juta pohon karet produktif. Para pemilik karet itu kemudian diberikan kupon agar dapat dipakai untuk membeli mesin pencetak karet slab, seperti mutu yang diatur pada tahun 1929.