Orang Bakumpai di Barito Kuala Kalimantan Selatan mengembangkan sistem pemanfaatan sumberdaya alam yamg bertumpu pada pemanfaatan energi pasang surut serta memilih proses suksesi alami dalam sistem produksinya.
Penduduk utama Barito Kuala adalah Orang Bakumpai, salah satu sub-etnik Dayak yang memeluk agama Islam. Orang Bakumpai menolak disebut Orang Banjar namun tidak merasa nyaman jika dikelompokan ke Dayak Ngaju atau Oot Danum. Bakumpai seperti terjebak diantara identitas Dayak yang umumnya Kristen dan Orang Banjar yang umumnya Islam.
Nama ini melekat pada mereka karena lingkungan fisik Orang Bakumpai adalah rawa dengan kehadiran rerumputan yang melimpah. Salah satu jenis rumput itu yang disebut 'purun' menjadi indentitas yang melekat dengan Orang Bakumpai.
Salah satu kantong pemukiman Orang Bakumpai di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan adalah Kuripan. Sejumlah desa Orang Bakumpai di Kecamatan Kuripan yang penulis kunjungi adalah; Balukang, Jambu Baru, Jambu, Kabuau, Asia Baru, Jerenang, Kuripan, Rimbun Tulang, Tabatan dan Tabatan Baru---sepuluh desa.
Tipe pemukiman penduduk pada desa-desa tersebut di atas memanjang mengikuti  daerah aliran Sungai Barito. Panjangnya berdasarkan pengukuran di atas peta kira-kira 30 kilo meter dari hulu  ke hilir.
Total populasi penduduk 5.920 jiwa pada tahun 2018. Perkiraan tahun 2019-- menggunakan tren pertumbungan penduduk sebelumnya, sekitar 6.000 jiwa. Perkembangan jumlah penduduk di Kecamatan Kuripan dalam 10 tahun terakhir berdasarkan Barito Kuala Dalam Angka tahun 2018, lihat grafik 1.
Orang Bakumpai mengembangkan sistem pemanfaatan rawa pasang surut yang bertumpu pada pemanfaatan energi pasang surut serta memilih proses suksesi alami pada sumberdaya alam yang dimanfaatkan di ekosistem rawa. Hal itu membuat Orang Bakumpai cukup kecil input tenaga kerja dalam sistem produksinya.
- Perikanan
Usaha perikanan berkembang baik di semua desa yang disurvei dan menjadi sumber pemasukan uang tahunan dalam jumlah besar.
Usaha penangkapan ikan berpusat di Daerah Aliran Sungai Barito, namun perikanan yang terpenting adalah yang dikembangkan penduduk di rawa dengan cara menggali parit atau membuat sungai kecil yang ditarik dari Sungai Barito sampai jauh ke darat, hal itu dimaksudkan sebagai pintu masuk ikan.
Sungai buatan atau parit berfungsi majemuk yakni, sebagai drainase, akses perahu  ke kawasan rawa untuk mengeluarkan hasil hutan, serta kawasan perikanan hasil rekayasa manusia.
Pada sisi kiri kanan parit/sungai yang ditarik dari Sungai Barito, penduduk menggali sebidang tanah berbentuk persegi panjang dengan kedalaman 3-4 meter yang disebut dengan 'sumur' atau 'beje'.Â
Teknik 'sumur' adalah memanfaatkan energi pasang surut dimana pada musim pasang/ banjir ikan masuk melalui parit atau sungai lalu berkembang biak di rawa. Di musim kemarau dimana suhu air permukaan meningkat dan ikan-ikan masuk kedalam  sumur  yang suhunya lebih sejuk lalu terjebak didalamnya pada puncak musim kemarau.
Usaha perikanan rawa ini tersebar dalam kawasan yang luas serta penempatannya kurang teratur. Pencatatan yang dilakukan di Desa Jambu menunjukkan rata-rata setiap rumah tangga memiliki jumlah 'sumur' pribadi antara 10-15 buah, dengan populasi 500 kk per desa jumlah sumur diperkirakan mencapai ribuan.
'Sumur-sumur' yang ada saat ini selain dikerjakan sendiri, ada juga yang dikerjakan dengan cara kongsi dengan anggota rumah tangga terdekat, dengan demikian sifat kepemilikan 'sumur' tidak selalu tunggal (privat).
Poduksi sumur ikan tergolong besar, mampu menghasilakan ratusan kilo gram per tahun. Â Sumur yang terbaik yang panjangnya sampai ratusan meter bisa menghasilkan ikan sampai satu ton. Namun demikian produktivitas 'sumur' tidak dapat dipastikan stabil setiap tahun. Â 'Sumur' bagi Orang Bakumpai adalah sumber pendapatan tahunan yang penting.
- Usaha kayu galam
Kayu galam tumbuh subur dan menjadi pembentuk hutan rawa di kawasan ini, kehadirannya yang melimpah diusahakan masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar di Marabahan (Ibukota Barito Kuala) dan Banjarmasin.
Kayu galam terutama dipergunakan untuk alat bantu konstruksi rumah, papan, tiang, jembatan, memperkuat struktur tanah, serta kayu bakar.Â
Harga jualnya bervariasi menurut ukurannya, harga galam ukuran besar mencapai 50.000 per potong. Pada musim hujan usaha ini menghasilkan uang beberapa ratusan ribu per hari dan lebih besar di musim penghujan. Usaha ini efektif dikerjakan 15-20 hari per bulan.
- Kerbau rawa
Usaha peternakan kerbau rawa berkembang baik dibeberapa desa (Tabatan dan Tabatan Baru). Â Kerbau dipelihara dengan sistem kalangan. Kalangan adalah persekutuan pemilik kerbau dimana seseorang ditunjuk untuk mengurus kerbau anggota persekutuan. Jumlah kerbau dalam satu kalangan antara 30-60 ekor.
Pemilik kerbau memberi upah tahunan sesuai kesepakatan, besarnya ratusan ribu per tahun per ekor sebagai jasa pemeliharaan ternaknya. Jumlah ternak tidak tercatat dalam monografi desa, untuk mengetahui gambaran populasinya dilakukan pencatatan di Desa Tabatan. Tercatat ada 31 persekutuan pemilik ternak (kalangan) dengan jumlah kerbau keseluruhan lebih dari 1.000 ekor.
Kerbau rawa sebenarnya hampir tidak dipelihara, kawanan kerbau tersebut mencari rumput dari satu tempat ke tempat lain sehingga areal pengembaraanya bisa mencapai 7 kilo meter jauhnya dari pemukiman penduduk.
- Kerajinan anyaman tikar
Disamping usaha peternakan, kerajinan anyam tikar ditemui pada semua desa, bahan bakunya adalah purun. Purun adalah sejenis rumput/semak yang tumbuh subur disekitar pemukiman penduduk dan juga ditanam atau dipelihara ditempat-tempat tertentu.
Beberapa informan menyebutkan, mereka dapat menganyam tikar lebih dari lima lembar per hari. Laki-laki dan perempuan punya keahlian menganyam tikar namun usaha rumah tangga ini lebih terspesialisasi pada perempuan.
Produk tikar yang dihasilkan berukuran 1 x 1,5 meter dan  dijual dalam bentuk yang masih kasar. Di Banjarmasin, tikar setengah jadi ini diolah, diberi warna serta corak, kemudian dijual kembali sebagai oleh-oleh dari Kota Banjarmasin.
- Usaha kayu dan pertukangan
Semua desa memiliki 1-2 unit usaha penggergajian kayu dan pembuatan perahu, hasilnya diserap oleh pasar lokal. Permintaan perahu dan papan memang cukup besar karena kayu merupakan material utama rumah penduduk, sementara perahu adalah alat transportasi yang utama bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Barito.
- Pertanian
Rawa pasang surut adalah lahan yang tidak stabil untuk mengusahakan petanian tanaman pangan jangka panjang. Energi pasang surut mempengaruhi tindakan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya pemanfaatan lahan untuk pertanian.
Sebagai perbandingan, di Muara Sabak, Jambi kawasan yang kurang lebih sama dengan ekosistem Orang Bakumpai yang dijadikan areal penempatan transmigrasi, diperlukan investasi besar untuk membuat kanal dan sistem drainase yang rumit yang bertujuan untuk menjaga water tabel dan water level. Pintu-pintu air yang dipakai untuk merekayasa air memerlukan ketepatan agar usaha pertanian berhasil serta menghindarkan rawa menjadi kering. Rawa yang kering jika terbakar ibarat membakar bensin padat, Â biasanya akan sangat sulit dipadamkan.
Secara umum, Orang Bakumpai membaca musim dan perubahan musim dalam wayah pandang dan wayah danum. Menurut Wahyu dan Nasrullah (2012), wayah pandang adalah musim kemarau yang berlangsung antara bulan November hingga April. Sedangkan wayah danum berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober. Di antara dua musim ini terdapat masa peralihan atau pancaroba di bulan Mei.
Pemakaian tanah terutama terkonsentrasi di sekitar pemukiman atau daerah aliran sungai yang merupakan tanah alluvial yang subur hasil dari endapan banjir tahunan.
Produksi pertanian tanaman pangan tidak selalu surplus namun cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
- Hasil hutan bukan kayu lainnya
Dalam skala kecil untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan, Orang Bakumpai memanfaatkan beberapa jenis burung rawa menggunakan jaring dan memikatnya menggunakan suara tiruan yang dihasilan dari peluit yang dibentuk dari bahan lokal.
Hasil hutan lainnya adalah rotan. Potensi rotan di kawasan ini belum bisa ditaksir namun usaha penjualan rotan berkembang dibeberapa desa dan menjadi sumber pendapatan alternatif. Harga dan rantai pasok rotan yang belum ideal mempengaruhi motivasi penduduk untuk terlibat dalam usaha ini.
**
Kemampuan sistem perekonomian masyarakat Bakumpai yang mengkombinasikan pertanian kecil-kecilan dengan ekstraksi hasil hutan membuat penghasilan mereka relatif stabil setiap tahun. Kehidupan perkonomian desa-desa yang di survei tidak mencerminkan masyarakat yang miskin, namun sistem ekonomi pertanian yang dikembangkan ini tidak akan mampu mendukung gaya hidup masyarakat yang mulai konsumtif.
Referensi
Melacak, Manatak, Maimbul: Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai Dalam Pengelolaan Padi Lahan Pasang Surut. Wahyu dan Nasrullah dalam Jurnal Komunitas No. 4 Tahun  2012: 36-45