Universitas Islam Negeri Ar-Raniry baru saja melahirkan Doktor Baru (Jumat/2/2/2018). Jumlah Doktor pun bertambah sejak Program Pascasarjana beroperasional menjadi 82 orang. Sungguh angka yang sangat luar biasa. Doktor yang baru saja itu diraih oleh Dr. Muslim Zainuddin, MSi dengan judul Disertasinya "Kedudukan Dan Fungsi Kelembagaan Mukimdalam Penyelesaian Perselisihan: Analisis Praktik Hukum Adat Di Aceh". Disertasi tersebut telah dipertahankan di depan para penguji yang terdiri dari Enam Profesor, yaitu: Prof. Farid Wajdi Ibrahmi, MA, Prof. Syahrizal Abbas, MA, Prof. Faisal A. Rani, M.Hum, Prof. Rusjdi Ali Muhammad, SH, Prof. A. Hamid Sarong, MH, dan Prof. Muslim Ibrahim, MA. Selain Profesor, turut diuji oleh dua orang Doktor, yaitu Dr. Taqwaddin, MS dan Dr. Salman Abdul Muthallib, M.Ag.
Persoalan penelitian yang diajukan oleh Dr. Muslim Zainuddin, MSi adalah kedudukan dan fungsi kelembagaan mukim dalam menyelesaikan perselisihan atau persengketaan dalam masyarakat. Bagi masyarakat di luar Aceh mungkin sedikit asing dengan istilah mukim. Berbeda dengan orang Aceh yang sering mendengar istilah itu. Mukim adalah sebuah lembaga adat yang salah satu tugasnya adalah menyelesaikan persoalan masyarakat. Di samping itu, tugas mukim lainnya adalah menjalankan tugas pemerintahan. Kedudukannya di bawah camat, dan di atas gampong.Â
Jadi, secara hirarkhi struktur Pemerintahan Aceh terdiri dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, Mukim dan Gampong (Desa). Hal ini tentunya berbeda dengan struktur pemerintahan di daerah lain yang tidak memiliki mukim. Setelah Kecamatan biasanya di daerah lain langsung Desa. Mukim membawahi beberapa gampong. Biasanya terdiri dari 7 atau 8 gampong (Desa).
Perkara tersebut dapat diselesaikan oleh peradilan adat gampong yang fungsionaris adatnya terdiri dari Keuchik, Tuha Peut, dan Imeum. Apabila pada tingkat gampong tidak mendapatkan kesepakatan damai, maka akan dilanjutkan ke Peradilan Adat tingkat Mukim. Bila pada peradilan adat tingkat mukim tidak mencapai perdamaian, maka barulah dibawakan ke ranah formal, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
Oleh karena tidak maksimalnya peradilan adat mukim selama inilah yang menjadi dasar bagi Dr. Muslim Zainuddin, MSi mengkaji tentang itu. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan secara mendalam hasil peneltiian yang ditemukan adalah Mukim berkedudukan sebagai wilayah ketiga setelah kecamatan yang terdiri dari beberapa gampong.Â
Peradilan adat tingkat mukim belum maksimal menjalankan peradilan adat di Aceh disebabkan, yaitu: kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjalankan peran dan fungsinya, pembinaan dan pelatihan yang diberikan kepada mukim belum memadai, kewibawaan mukim mulai berkurang, konflik Aceh yang berkepanjangan mengakibatkan fungsi mukim tidak berjalan efektif dan adanya tatanan hukum nasional yang lebih mengedepankan kepastian hukum. Akibatnya, hukum adat yang sifatnya tidak tertulis mulai ditinggalkan dengan alasan pihak yang kalah dapat menggugat kembali putusan yang dikeluarkan oleh fungsionaris adat.
Dalam penelitian tersebut juga mengkaji tentang makna sosiologis dan filosofis yang terkandung dalam penyelesaian kasus dengan menggunakan mekanisme adat. Makna filosofis yang terakomodir dari pola penyelesaian perselisihan di tingkat mukim yaitu: perkara berakhir dengan perdamaian (win-winsolution) yang mewujudkan keharmonisan bagi pihak-pihak yang berperkara, menghemat waktu dan biaya.Â
Bahkan dapat menjadi moment silaturahmi antar para pihak pada saat dipertemukan, sesuai dengan konsep-konsep ajaran Islam yang mengutamakan musyawarah dalam memutuskan perkara. Aspek sosiologis dalam penyelesaian perkara melalui mukim adalah tingginya kepuasan masyarakat terhadap penyelesaian perkara di tingkat gampong dan mukim, memulihkan kerugian yang dialami korban sesuai dengan konsep restorative justice,mengembalikan keseimbangan masyarakat yang telah terguncang akibat pertikaian para pihak dan menjalin ukhuwah islamiah bagi mereka yang bertikai dan melanggengkan persaudaraan.