Mohon tunggu...
manjanisa
manjanisa Mohon Tunggu... mahasiswa universitas jambi

bermain voli

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah Politik Pahlawan Papua: Frans Kaisiepo

17 Juni 2025   23:20 Diperbarui: 17 Juni 2025   23:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. BIOGRAFI FRANS KAISIEPO

1. Latar Belakang Frans Kaisiepo

Salah satu pahlawan nasional Indonesia, Frans Kaisiepo, lahir di Wardo, Biak, pada tanggal 10 Oktober 1921. Ia berasal dari keluarga Biak Numfor, yang sangat berpengaruh di daerah itu. Albert Kaisiepo adalah ayahnya, seorang kepala suku yang dihormati dan seorang pandai besi, sedangkan ibunya Seorang perempuan lokal yang berperan dalam mendidik anak-anaknya mengenai adat dan budaya Papua. Kaisiepo menikah dengan Anthomina Arwam dan mereka memiliki tiga anak bersama yang bernama Beatrix Kaisiepo Wanma, Susana Kaesiepo Manggaprouw, Manuel Kaisiepo, pasangan itu tetap bersama hingga Arwam meningggal dunia. Ia menikah dengan Maria Magdalena Moorwahyuni pada 12 November 1973. Ia berasal dari keluarga ningrat Tjondronegoro, dengan kakek buyutnya adalah bupati Kudus, Jawa Tengah. Mereka memiliki satu anak laki-laki yang bernama Anthonius Victor Kaisiepo sebelum mengadopsi satu lagi (Pius Suryo Haryono et al., 1996).

2. Pendidikan Yang di Tempuh Frans Kaisiepo

Desa Kelas 3 di Wardo, juga dikenal sebagai Dorpsschool B atau Volkshool, adalah pendidikan formal pertama Frans Kaisiepo. Karena bibinya mengasuh dan membesarkannya, Frans Kaisiepo dimasukkan ke sekolah ini. Sekolahnya dan rumahnya saling berhadapan hanya saja sekolah dan rumahnya di pisahkan oleh aliran sungai. Frans Kaisiepo memulai perjalanan pendidikannya dari sekolah desa kelas tiga, tetapi karena keinginannya yang kuat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih maju, ia memutuskan untuk meninggalkan sekolah dan melanjutkan ke Vervolgschool, yang juga dikenal sebagai Sekolah Sambungan. Sekolah ini terletak di Corrido, distrik Supiori. Pada tahun 1934, Frans berhasil menyelesaikan studinya di Sekolah Welwogel dengan pikirannya yang giat dan semangat yang tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di Vervolgschool di Corridor pada tahun yang sama, Frans tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Guru Michi dekat Manokwari di daerah Wandamen. Frans Kaisiepo bersekolah di Kursus Bestuur (pamong Praja) di Kotanica, sekarang yang sekarang bernama kampung Bestuur di Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, tepatnya di antara Abepura dan Sentani, sejak awal tahun 1945. Pamong Praja di dirikan oleh NICA (Nederlands Indische Civil Administrtion) pada tanggal 1 Januari 1945. Setelah itu, dari tahun 1952 hingga 1954 Frans Kaisiepo memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di OSIBA, yang merupakan Sekolah Pendidikan Kantor Pamong Praja di Kotabaru ia berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1954. Karena kesempatan ini karir Frans Kaisicpo berkembang terutama dalam pekerjaan pemerintahan (Pius Suryo Haryono et al., 1996).

3. Masa Kanak-Kanak Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo lahir pada 10 Oktober 1921 di sebuah desa kecil di tepi sungai yang berjurang di Kecamatan Biak Barat, Kabupaten Teluk Imbom, Papua. Ia adalah anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Albert Kaisiepo dan Alberthina Maker, dan dibesarkan dalam suasana alami yang jauh dari keramaian kota serta kaya akan keindahan alam dan budaya lokal. Masa kecilnya yang sederhana ini menjadi fondasi perjalanan hidupnya yang kemudian terkenal dan berpengaruh. Sejak kecil, Frans menghadapi tantangan besar, termasuk kehilangan ibunya saat masih balita, yang menyisakan duka mendalam. Ia kemudian diasuh oleh tantenya di daerah Numfor dan banyak menghabiskan waktu bermain di sekitar sungai dekat rumahnya bersama teman sebaya. Aktivitas bermain dan berinteraksi di lingkungan tersebut menumbuhkan sifat kepemimpinan alami dalam dirinya, ditandai dengan keberanian, rasa percaya diri, dan kemampuan memimpin dalam berbagai situasi, baik saat bermain maupun saat berinteraksi dengan anak dari desa lain. Seiring bertambahnya usia, karakter Frans semakin berkembang. Pengalaman dari keluarga dan ajaran agama Kristiani Protestan yang diterima sejak kecil turut membentuk moral dan keterbukaan pribadinya. Sifat positifnya, seperti keberanian dan kemampuan beradaptasi, membuat banyak orang merasa nyaman dan terinspirasi oleh kepribadiannya yang hangat dan bersahabat. Kepemimpinannya yang matang dan bijaksana terus berkembang, mencerminkan perjalanan menuju kedewasaan yang dipenuhi dengan pengalaman, pendidikan, dan prinsip hidup yang selalu dipegang teguh.

B. Perjuangan Frans Kaisiepo

1. Perjuangan Frans Kaisiepo

Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada tahun 1950, wilayah Papua masih dikuasai oleh Belanda meskipun secara resmi harusnya dibicarakan kembali berdasarkan hasil KMB tahun 1949. Hingga tahun 1962, Belanda terus berusaha mempertahankan kendalinya atas Papua, sementara rakyat Papua menunjukkan semangat nasionalisme dan berupaya menjadikan Papua bagian dari Indonesia melalui berbagai perjuangan dan tokoh seperti Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey. Perselisihan antara Indonesia dan Belanda berlangsung cukup lama dan rumit, sejak Indonesia menyatakan kemerdekaan hingga 1959, dipengaruhi oleh dinamika kolonialisme dan imperialisme. Indonesia berjuang lepas dari penjajahan, sementara Belanda berusaha mempertahankan kekuasaannya demi kepentingan politik dan ekonomi. Negara lain seperti Portugal, Spanyol, Inggris, dan Jepang juga terlibat dalam usaha menguasai Indonesia, karena kekayaan sumber daya dan potensi wilayahnya.

Secara teori, kolonialisme adalah kekuasaan administratif dan hukum di wilayah baru, sedangkan imperialisme lebih fokus pada dominasi melalui diplomasi, konflik, dan ekonomi. Keduanya memberi dampak besar terhadap sejarah Indonesia dan perjuangan kemerdekaannya. Tokoh seperti Frans Kaisiepo menunjukkan perjuangan non-militer dengan meningkatkan semangat nasionalisme di Papua, misalnya melalui pendidikan dan simbol seperti lagu Indonesia Raya. Ia dan generasi muda Papua berupaya menyatukan wilayah Papua ke dalam NKRI, menolak pemisahan yang diusulkan Belanda, dan memperjuangkan kemerdekaan Papua. Setelah berbagai perjuangan dan perjanjian internasional, Papua akhirnya diakui sebagai bagian Indonesia pada tahun 1963, dan tokoh seperti Kaisiepo terkenal sebagai pejuang yang loyal terhadap Indonesia.

2. Perjalanan Karir Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo adalah seorang tokoh pendidikan dan pemerintahan dari Papua yang berperan penting dalam pembangunan sumber daya manusia dan pemerintahan di wilayahnya. Ia menamatkan pendidikan Guru Normal di Manokwari pada tahun 1937 dan memulai karier sebagai pendidik di Sekolah Rakyat (SR) atau Sekolah Dasar (SD). Awalnya, ia menjadi Guru Bantu di Wardo, Biak, dan kemudian diangkat menjadi Guru Tetap di Korido, Biak. Dengan kemampuan dan dedikasinya, Frans naik jabatan menjadi Kepala Sekolah di Mokmer dan Sowek, Biak, serta di Kpudori, menunjukkan kepemimpinannya dalam meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut. Sebelum kedatangan pasukan Jepang, Frans telah mencatat jejak penting dalam dunia pendidikan, menunjukkan kemampuan kepemimpinan dan manajemen yang luar biasa. Setelah Perang Dunia II dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, ia mengikuti pelatihan di Sekolah Bestuur di Kotanica dan kemudian berkarier di bidang administrasi, menjadi Kepala Distrik di Biak Utara, Supiori Selatan, dan Ransiki di Manokwari. Ia juga mendapatkan berbagai promosi dan penugasan penting, termasuk sebagai Kepala Pemerintahan Lokal di wilayah Onder Afdeling Terminabuan.

Selain di bidang pendidikan dan pemerintahan, Frans menunjukkan sikap integritas dan keberanian dengan menolak menjadi delegasi dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Sepanjang hidupnya, ia menunjukkan komitmen besar terhadap pembangunan komunitas dan pemerintahan di Papua, meninggalkan jejak penting dalam sejarah daerah tersebut. Menurut Pius Suryo Haryono et al. (1996), antara tahun 1959 dan 1962, Frans Kaisiepo ditempatkan di daerah-daerah terpencil sebagai hasil penolakkannya untuk menjadi Ketua Delegasi Nederland Nieuw Guinea di Konferensi Meja Bundar (KMB) Den Haag. Ia pernah ditugaskan sebagai Kepala Distrik Kokas Fak-Fak pada Oktober 1959, kemudian dipindahkan ke Fak-Fak sebagai Kepala Onder Afdeling pada Desember 1959, dan selanjutnya sebagai Kepala Distrik Mimika Timur pada Agustus 1961. Pada November 1962, ia resmi menjadi Hoofd Bestuur Assisten. Seiring waktu, kariernya berkembang, dan pada tahun 1963 ia menjadi Kepala Pemerintahan Setempat di Sukarnopura serta kemudian Wakil Residen dan akhirnya menjabat sebagai Gubernur Papua dari 1964 hingga 1973. Selain berperan dalam pemerintahan, Frans Kaisiepo turut aktif dalam proses politik dan kemerdekaan Papua, seperti menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ketua Panitia Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), serta Ketua Dewan Pembina Korpri di Papua. Ia juga diangkat sebagai Pegawai Tinggi di bawah Menteri Dalam Negeri dan anggota Dewan Pertimbangan Agung RI hingga akhir hayatnya tahun 1973.

Setelah keluar dari penjara tahun 1961, Frans mendirikan Partai Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang bertujuan menyatukan Indonesia dan Papua Nugini. Ia juga menggalang dukungan nasional dan internasional, termasuk melalui pidato Presiden Soekarno tentang Trikora pada Desember 1961, yang bertujuan mengakhiri kolonialisme Belanda di Papua dan memperjuangkan penyatuan wilayah tersebut ke Indonesia. Peristiwa penting lainnya adalah penandatanganan Perjanjian New York pada Agustus 1962 dan penyerahan administrasi wilayah oleh PBB kepada Indonesia pada Mei 1963, yang menandai berakhirnya masa kolonial Belanda dan proses integrasi Papua ke Indonesia. Elieser Jan Bonay adalah tokoh penting dalam sejarah Papua, dikenal sebagai gubernur pertama wilayah Irian dari tahun 1963 sampai 1964. Pada awalnya, Bonay mendukung integrasi Papua ke Indonesia dan saat menjabat, ia aktif dalam proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1964. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan harapan agar Papua bisa merdeka sesuai aspirasi masyarakat. Namun, karena tindakannya yang bertentangan dengan kebijakan nasional serta dukungan terhadap kemerdekaan Papua, Bonay mengundurkan diri dari jabatannya tahun 1964.

Setelah itu, antara tahun 1972 hingga 1979, Bonay bekerja di Kementerian Dalam Negeri Indonesia. Ia kecewa terhadap kebijakan Orde Baru dan merasa perjuangannya tidak dihargai, sehingga pada tahun 1982 ia bergabung dengan gerakan Papua Merdeka di Belanda. Sebagai gubernur, Kaisiepo bekerja keras memperjuangkan aspirasi Papua agar tetap menjadi bagian Indonesia melalui proses yang dikenal sebagai Act of Free Choice, yang berhasil mengintegrasikan Papua sebagai Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua) pada tahun 1969. Selama masa pemerintahannya, Kaisiepo meningkatkan jumlah penduduk dan tingkat pendidikan Papua, serta menjadi anggota DPR Papua dan Dewan Pertimbangan Agung, menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat terhadapnya. Meskipun perjuangannya diwarnai berbagai tantangan, Bonay tetap dikenang sebagai tokoh yang berperan besar dalam sejarah politik Papua dan usahanya untuk memperjuangkan identitas dan hak rakyat Papua di Indonesia.

3. Strategi Politik Frans Kaisiepo

Frans Kaisiepo adalah salah satu tokoh penting yang mendukung integrasi Papua ke dalam NKRI. Beliau mampu memperjuangkan hak dan identitas rakyat Papua sekaligus memperkuat posisi Indonesia di dunia melalui berbagai pendekatan yang matang dan berani. Untuk mendukung Papua dan NKRI, berikut adalah beberapa Strategi yang digunakan Frans Kaisiepo:

a. Penguatan Nasionalisme

Mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu nasional "Indonesia Raya" di tanah Papua adalah salah satu tindakan paling berani yang pernah dilakukan Frans Kaisiepo. Tindakan ini menunjukkan komitmen Papua terhadap NKRI dan semangat nasionalisme Indonesia lebih dari sekedar simbol. Dengan keberaniannya ini, Kaisiepo berusaha memberikan inspirasi kepada orang Papua dan menunjukkan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Selain itu, tindakan simbolis ini berfungsi sebagai bentuk perlawanan terhadap tujuan kolonial dan kekuatan luar yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia.

Melalui penggunaan nama "Irian" untuk Papua, Kaisiepo memainkan peran penting dalam pembentukan identitas nasional. Nama ini memiliki makna yang dalam dan cerdas, berasal dari bahasa Biak dan berarti "tanah panas", yang mencerminkan karakteristik geografis dan iklim Papua. Selain itu, "Irian" juga merupakan singkatan dari "Ikut Republik Indonesia Anti Nederland", yang secara simbolis menunjukkan bahwa Papua ingin bergabung dan mendukung perjuangan Strategi penamaan ini mendukung gagasan bahwa Papua adalah bagian penting dari Indonesia dan membangun rasa kebanggaan dan identitas nasional di kalangan orang Papua.

b) Politik dan Kepemimpinan

Frans Kaisiepo, satu-satunya utusan asli Papua yang hadir dalam Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, menunjukkan keberanian dan komitmennya terhadap integrasi Papua. Selama konferensi, dia dengan tegas mendukung masuknya Papua ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT) dan menolak segala bentuk publikasi. Selain itu, ia memperjuangkan agar orang Papua sendiri memegang kekuasaan dan nepotisme di Papua, sehingga mereka merasa memiliki kendali atas masa depan mereka. Ini adalah sikap yang menunjukkan bahwa Kaisiepo memperjuangkan hak rakyat Papua dalam konteks nasionalisme Indonesia yang inklusif dan demokratis.

Kaisiepo mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI) di Mimika pada tahun 1961. Partisi ini utamanya berkampanye untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari Indonesia dan melindungi wilayah papua yang masih di kuasai oleh kekuasaan Belanda yang masih kuat di sana. Pembentukan partai ini adalah langkah strategis untuk memperkuat politik Papua dan menunjukkan bahwa masyarakat Papua memiliki suara politik yang terorganisir untuk mempertahankan integrasi ke Indonesia.

c. Diplomasi dan Pemerintahan

Frans Kaisiepo secara aktif mendukung inisiatif Presiden Soekarno yang dikenal sebagai Trikora (Tri Komando Rakyat) dalam perjuangan untuk merebut kembali Papua dari Belanda. Ia membantu mengizinkan Indonesia mendarat di Mimika dan berpartisipasi dalam memerangi kolonialisme Belanda. Dengan memberikan dukungan ini, dia menunjukkan komitmennya terhadap upaya nasional dan perjuangan bersenjata untuk mengintegrasikan Papua ke dalam NKRI.

Untuk mendukung proses integrasi, Kaisiepo melakukan kampanye besar-besaran di seluruh Papua saat dia menjabat sebagai gubernur Irian Jaya dari tahun 1964 hingga 1973. Ia menjamin bahwa Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat yang terjadi pada tahun 1969 berjalan lancar dan mendapat pengakuan internasional. Kaisiepo sering menyebut Papua sebagai bagian dari Indonesia dan mengatakan kepada rakyat Papua bahwa mereka harus berpartisipasi secara demokratis dalam menentukan masa depan mereka.

d. Dokumentasi dan Advokasi

Kaisiepo memastikan bahwa administrasi Papua transfer dari Belanda ke Indonesia melalui perjanjian internasional seperti Perjanjian New York 1962. Dia berupaya untuk memastikan bahwa suara rakyat Papua didengar di tingkat internasional dan bahwa Papua diakui sebagai bagian dari Indonesia. Peran ini sangat penting untuk memberikan legitimasi politik dan memastikan proses integrasi hukum Papua ke Indonesia terus berlanjut.

Selain itu, Kaisiepo secara aktif memperkuat identitas nasional Papua dengan mendorong gagasan bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia. Ia berusaha keras untuk menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan orang Papua melalui pendidikan, media, dan kegiatan sosial, sehingga mereka merasa bangga dan memiliki ikatan emosional dengan Indonesia.

REFERENSI

Bernarda Meteray, & Yan Dirk Wabiser. (2019). PERTUMBUHAN NASIONALISME INDONESIA DI KALANGAN ORANG PAPUA 19631969. 45, 1--18.

Okto Dwi Widyanto, S. P. (2019). PERAN TOKOH DALAM MEMPERTAHANKAN KAUTUHAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA (1945-1965).

Petrik Matanasi. (2019, April 10). Frans Kaisiepo: Sejarah Perjuangan Seorang Papua untuk Indonesia. Tirto. Id . https://tirto.id/frans-kaisiepo-sejarah-perjuangan-seorang-papua-untuk-indonesia-bLoW

Pius Suryo Haryono, Muchtaruddin Ibrahim, Espita Riama, & Lismiarti. (1996). PAHLAWAN NASIONAL FRANS KAISIEPO (Muchtaruddin Ibrahim, Ed.; 1996th ed.). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Puji Rahayu, A. I. O. D. S. (2023). PERAN FRANS KAISIEPO DALAM MENYATUKAN PAPUAKEPANGKUAN NKRI. PENDIDIKAN SEJARAH DAN KAJIAN SEJARAH, Vol 6 No. 1(2623--2065), 15--19.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun