Selayang Pandang TOR Diskusi Budaya #4
Di Cilegon, sebuah kota yang tumbuh dari besi, semen, dan cerobong asap, kita bisa mendengar dua cerita yang saling berlawanan. Di satu sisi, ada kisah pembangunan yang membanggakan, yaitu lapangan kerja, pelabuhan, Proyek pabrik PSN, dan pertumbuhan ekonomi yang diklem kota terkaya di Indonesia.Â
Di sisi lain, ada bisikan getir yang jarang terdengar, yakni perubahan laut yang semakin keruh, sawah yang menyusut, udara yang tak lagi segar, dan tubuh-tubuh kecil yang batuk karena debu. Dua cerita ini hidup berdampingan, namun sering kali yang kedua tenggelam oleh riuh yang pertama.
Kerusakan ekosistem di Cilegon tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari sebuah paradigma pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama. Cerobong pabrik dan jalan lingkar dianggap bukti keberhasilan, sementara hilangnya ruang hijau, sawah alih fungsi perumahan, abrasi pantai, atau nelayan yang tak lagi melaut, itu semua sering dicatat sebagai "biaya sampingan."Â
Padahal, teori ekologi sudah sejak lama mengingatkan, krisis lingkungan kerap lahir dari tarik-menarik kepentingan antara negara, industri, dan masyarakat. Hampir selalu, masyarakat kecil yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakanlah yang menanggung dampak paling berat.
Namun Cilegon sesungguhnya tidak pernah benar-benar miskin pengetahuan tentang bagaimana menjaga alam. Kearifan lokal, warisan yang sering kita abaikan, adalah semacam "ilmu ekologis" yang dikemas dalam bahasa adat, ritual, dan pantangan. Koentjaraningrat menyebut budaya bukan sekadar simbol, melainkan sistem pengetahuan dan teknologi yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.Â
Jika kita perhatikan, nelayan memiliki cara menentukan musim melaut dengan membaca arah angin dan tanda-tanda langit. Petani tahu kapan saat yang tepat menanam, kapan harus memberi waktu tanah beristirahat, bahkan larangan adat agar tidak menebang pohon di dekat mata air. Semua itu adalah sistem pengelolaan ekologi yang tumbuh dari pengalaman panjang beradaptasi dengan alam.
Julian Steward, melalui teori ekologi budaya, menegaskan bahwa kebudayaan lahir dari upaya manusia beradaptasi dengan lingkungannya. Artinya, ritual laut, pantangan adat, hingga cara bertani tradisional bukanlah sekadar ekspresi spiritual, melainkan strategi bertahan hidup.Â
Hilangnya kearifan lokal itu, entah karena modernisasi atau karena dianggap "kuno," berarti kita kehilangan alat penting untuk menghadapi krisis lingkungan.
Ironisnya, ketika industrialisasi merajalela di Cilegon, kearifan lokal justru tersisih. Tradisi menjaga laut dan sawah dianggap kalah penting dibanding rencana tata kota dan investasi. Hukum adat yang dulu mengatur perilaku manusia terhadap alam kini hanya tinggal cerita.Â
Masyarakat kehilangan ruang untuk mempraktikkan warisan itu, sementara proyek-proyek besar terus datang dengan logika keuntungan jangka pendek. Maka yang terjadi udara tercemar, laut dipenuhi limbah, dan ruang hijau semakin sempit.
Di titik inilah, kita perlu menengok kembali prinsip pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan Komisi Brundtland. Bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan generasi mendatang. Jika direnungkan, prinsip itu sejalan dengan kearifan lokal masyarakat tradisional: mengambil secukupnya, menyisakan untuk esok, dan selalu menjaga keseimbangan.
Pertanyaan pentingnya adalah siapa yang paling banyak menanggung dampak kerusakan ini, dan siapa yang paling banyak diuntungkan? Teori keadilan ekologis memberi jawaban yang tegas, kerusakan ekosistem bukan hanya soal lingkungan, melainkan soal keadilan sosial. Ketika anak-anak nelayan sulit bernafas karena udara kotor, sementara keuntungan industri masuk ke kas besar perusahaan, di situlah ketimpangan itu terlihat.
Lalu bagaimana kita merawat kearifan lokal agar tidak menjadi romantisme masa lalu? Pertama, masyarakat perlu diberdayakan agar warisan itu kembali hidup dalam praktik sehari-hari. Kedua, akademisi bisa berperan sebagai jembatan mendokumentasikan, meneliti, lalu menghubungkan kearifan lokal dengan bahasa kebijakan modern tentang pembangunan berkelanjutan.Â
Pemerintah daerah harus berani memberi ruang, bukan sekadar dalam simbol upacara adat, tetapi dalam kebijakan tata ruang, izin industri, hingga kurikulum sekolah.
Sementara itu, industry yang selama ini paling banyak mengambil perlu belajar memberi. Bukan dengan sekadar CSR seremonial, melainkan dengan sungguh-sungguh mengintegrasikan prinsip ekologis dan menghormati pengetahuan lokal.Â
Bayangkan jika industri baja, petrokimia, dan PLTU di Cilegon mengadopsi praktik ramah lingkungan dengan menempatkan masyarakat sekitar sebagai mitra, bukan sekadar korban.
Mungkin jalan menuju ke sana tidak mudah. Tetapi ruang dialog bisa menjadi awal, mempertemukan pelaku budaya, aktivis, akademisi, pemerintah, dan industri dalam satu ruang diskusi, bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk menyulam masa depan bersama. Sebab kearifan lokal hanya akan bernilai jika ia hidup, dihidupi, dan diakui dalam sistem yang lebih besar.
Krisis ekologi di Cilegon bukan sekadar cerita tentang laut yang kotor atau udara yang berdebu. Ia adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan warisan budaya kita sendiri. Menjaga kearifan lokal berarti menjaga alat yang paling manusiawi dalam menghadapi kerusakan zaman.Â
Jika kearifan itu bisa kita rawat dan kita jadikan pijakan, mungkin suatu hari anak-anak Cilegon bisa kembali bernapas lega, melihat laut yang jernih, dan menyebut pembangunan bukan sebagai luka, melainkan sebagai rumah bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI