Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Kearifan Budaya di Hadapan Kerusakan Ekosistem Cilegon

23 September 2025   19:24 Diperbarui: 25 September 2025   15:52 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flayer Diskusi Budaya #4 (Foto Studio Seni Cilegon - Indra) 

Masyarakat kehilangan ruang untuk mempraktikkan warisan itu, sementara proyek-proyek besar terus datang dengan logika keuntungan jangka pendek. Maka yang terjadi udara tercemar, laut dipenuhi limbah, dan ruang hijau semakin sempit.

Di titik inilah, kita perlu menengok kembali prinsip pembangunan berkelanjutan yang diperkenalkan Komisi Brundtland. Bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan generasi mendatang. Jika direnungkan, prinsip itu sejalan dengan kearifan lokal masyarakat tradisional: mengambil secukupnya, menyisakan untuk esok, dan selalu menjaga keseimbangan.

Pertanyaan pentingnya adalah siapa yang paling banyak menanggung dampak kerusakan ini, dan siapa yang paling banyak diuntungkan? Teori keadilan ekologis memberi jawaban yang tegas, kerusakan ekosistem bukan hanya soal lingkungan, melainkan soal keadilan sosial. Ketika anak-anak nelayan sulit bernafas karena udara kotor, sementara keuntungan industri masuk ke kas besar perusahaan, di situlah ketimpangan itu terlihat.

Lalu bagaimana kita merawat kearifan lokal agar tidak menjadi romantisme masa lalu? Pertama, masyarakat perlu diberdayakan agar warisan itu kembali hidup dalam praktik sehari-hari. Kedua, akademisi bisa berperan sebagai jembatan mendokumentasikan, meneliti, lalu menghubungkan kearifan lokal dengan bahasa kebijakan modern tentang pembangunan berkelanjutan. 

Pemerintah daerah harus berani memberi ruang, bukan sekadar dalam simbol upacara adat, tetapi dalam kebijakan tata ruang, izin industri, hingga kurikulum sekolah.

Sementara itu, industry yang selama ini paling banyak mengambil perlu belajar memberi. Bukan dengan sekadar CSR seremonial, melainkan dengan sungguh-sungguh mengintegrasikan prinsip ekologis dan menghormati pengetahuan lokal. 

Bayangkan jika industri baja, petrokimia, dan PLTU di Cilegon mengadopsi praktik ramah lingkungan dengan menempatkan masyarakat sekitar sebagai mitra, bukan sekadar korban.

Mungkin jalan menuju ke sana tidak mudah. Tetapi ruang dialog bisa menjadi awal, mempertemukan pelaku budaya, aktivis, akademisi, pemerintah, dan industri dalam satu ruang diskusi, bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk menyulam masa depan bersama. Sebab kearifan lokal hanya akan bernilai jika ia hidup, dihidupi, dan diakui dalam sistem yang lebih besar.

Krisis ekologi di Cilegon bukan sekadar cerita tentang laut yang kotor atau udara yang berdebu. Ia adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan warisan budaya kita sendiri. Menjaga kearifan lokal berarti menjaga alat yang paling manusiawi dalam menghadapi kerusakan zaman. 

Jika kearifan itu bisa kita rawat dan kita jadikan pijakan, mungkin suatu hari anak-anak Cilegon bisa kembali bernapas lega, melihat laut yang jernih, dan menyebut pembangunan bukan sebagai luka, melainkan sebagai rumah bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun