Hari kemerdekaan baru saja dirayakan. Upacara, pengibaran bendera, dan pidato. Lagu kebangsaan terdengar di berbagai lapangan, seolah negeri ini telah selesai dengan janji-janji yang pernah dituliskan dalam proklamasi.Â
Tetapi, di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, kemerdekaan itu terasa timpang. Ada luka yang tersayat, sepuluh wartawan dianiaya ketika sedang bertugas, justru pada hari yang semestinya meneguhkan arti kemerdekaan.
Peristiwa itu terjadi ketika Kementerian Lingkungan Hidup melakukan inspeksi ke PT Genesis Regeneration Smelting (GRS) pada Kamis Pagi, 21 Agustus 2025, sekitar pukul 10.00 WIB.Â
Para wartawan, seperti biasa, hadir untuk merekam, menulis, dan memberi publik kebenaran. Tetapi kebenaran itu ditolak dengan gaya premanisme.
Menurut kesaksian, pengeroyokan dilakukan secara bersama, melibatkan oknum anggota Brimob yang seharusnya menjaga hukum, sekuriti perusahaan yang melindungi kepentingan industri, dan anggota ormas yang entah mengabdi pada siapa.Â
Hukum seperti kehilangan alamatnya. Wartawan dipukul, dihalangi, diintimidasi. Kamera nyaris dihancurkan. Kasus kekerasan wartawan ini menunjukkan wajah buram relasi antara industri, aparat, dan kebebasan pers.
Ini bukan lagi sekadar insiden. Ketika seorang wartawan dipukuli, yang dilukai bukan tubuh semata, melainkan hak publik untuk tahu. Kebebasan pers, yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, robek di hadapan aparat yang justru seharusnya menjaganya.Â
Maka pertanyaan pun terbit, kemerdekaan macam apa yang kita rayakan, bila suara yang mengabarkan fakta harus dibungkam dengan pukulan?
Reaksi muncul cepat. Dari Cilegon, para jurnalis berkumpul di Landmark kota. Mereka berdiri, bersuara lantang, menyatakan solidaritas. Aksi itu adalah pengingat bahwa pers bukan hanya profesi, melainkan pilar yang menyangga demokrasi. Bila pilar itu rapuh, maka runtuhlah rumah kebangsaan yang kita banggakan.
Kini sorotan tertuju pada Brigjen Pol Hengki, Kapolda Banten yang baru saja dilantik. Peristiwa kekerasan wartawan di Serang datang bagai ujian di awal masa jabatannya.Â
Masyarakat menunggu, apakah ia akan membiarkan tradisi kekerasan terhadap pers berulang, atau justru menegaskan bahwa hukum adalah payung bagi semua, termasuk mereka yang menulis berita.
Ada sebuah ironi yang sulit diabaikan. Kita merayakan kemerdekaan setiap tahun dengan upacara khidmat, namun di lapangan, kemerdekaan itu masih bisa direnggut dengan mudah. Premanisme berganti seragam, dari ormas hingga aparat.Â
Goenawan Mohamad pernah menulis: demokrasi adalah "janji yang terus-menerus ditagih."Â
Peristiwa di Jawilan menunjukkan betapa janji itu masih kerap diingkari. Wartawan dipukul, tapi sejatinya publiklah yang ditampar. Karena tanpa pers yang bebas, rakyat hanya akan mendengar satu suara, yaitu suara mereka yang berkuasa.
Kekerasan wartawan adalah kekerasan terhadap demokrasi. Bila negara gagal melindungi kebebasan pers, maka kemerdekaan yang kita rayakan hanyalah seremoni, tanpa ruh, tanpa arti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI