Pemerintah kota memang telah mencoba merespons problem ini dengan berbagai program peningkatan kapasitas sumber daya manusia, seperti pelatihan kerja dan pemberian beasiswa full sarjana bagi warga tidak mampu. Sejak 2021, sekitar 3.000 warga telah mendapat bantuan pendidikan ini.
Namun upaya itu belum cukup untuk menjembatani kebutuhan industri dengan potensi tenaga kerja lokal yang masih rendah dalam pendidikan dan keterampilan. Mayoritas lulusan sekolah di Cilegon hanya sampai jenjang SMP, sementara perusahaan industri membutuhkan tenaga kerja terampil dan bersertifikasi.
Di sisi lain, kehadiran investasi besar ternyata juga tidak memberikan kontribusi signifikan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah kota masih kesulitan menarik retribusi dan pajak daerah dari sektor industri, baik karena keterbatasan regulasi maupun lemahnya pengawasan.
Potensi ekonomi yang besar justru menguap ke pusat atau provinsi, sementara kota yang menampung dampak lingkungan dan sosial dari industri hanya mendapat remah-remahnya.
Hal ini membuat Pemkot Cilegon tak berdaya memperbaiki infrastruktur, memperluas pendidikan vokasi, atau menyediakan layanan publik berkualitas yang dibutuhkan warga.
Dalam konteks ini, aksi sekelompok warga yang menuntut proyek triliunan rupiah tanpa tender bisa dibaca sebagai bentuk keputusasaan kolektif. Mereka bukan tidak tahu hukum; mereka hanya tidak percaya lagi pada mekanisme formal yang selama ini tidak memberikan tempat yang adil bagi masyarakat lokal.
Tentu saja tuntutan mereka tidak dapat dibenarkan dari segi etika tata kelola. Namun, jika akar masalahnya tidak diselesaikan---yakni ketimpangan distribusi hasil investasi---tindakan seperti ini bisa terus terulang dengan skala dan aktor yang lebih besar.
Situasi ini menjadi cermin bagi pemerintah pusat dan daerah bahwa industrialisasi tanpa strategi pembangunan manusia dan tata kelola fiskal yang baik akan menciptakan ruang kosong di tengah kota: kawasan industri yang megah dikelilingi kantong-kantong kemiskinan.
 Cilegon yang digadang-gadang sebagai kota industri justru bisa menjelma jadi kota alienasi, di mana warga asli merasa terpinggirkan di tanah sendiri.
Jika Cilegon ingin keluar dari jebakan ini, dibutuhkan intervensi serius. Pemerintah pusat harus membuka ruang evaluasi atas dampak PSN terhadap kesejahteraan lokal. Pemerintah daerah harus berani merombak pendekatan tata kelola investasi yang lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya investor.
Dunia industri pun mesti berhenti memperlakukan kota ini hanya sebagai ladang produksi, tapi sebagai komunitas yang perlu dihidupi.