Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Rahmatullah Safrai

Founder Sekumpul EduCreative dan Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kontroversi PT CAA dan Video Viral Proyek 5 Triliun: Aspirasi atau Ancaman?

14 Mei 2025   05:35 Diperbarui: 14 Mei 2025   00:39 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertemuan dalam video minta proyek 5 Triliun tanpa tender (AI/Pram) 

Sore itu di sebuah warung kopi di dalam kawasan Krakatau Junction, suara deru motor bercampur obrolan warga yang tengah nongkrong di bangku plastik. Asap rokok naik perlahan, menyatu dengan langit kelabu khas Cilegon.

Di pojok warung, lima orang lelaki berbaju lusuh duduk mengelilingi meja kayu, gelas kopi hitam mereka tinggal separuh. Topik yang mereka bahas bukan sepak bola atau harga sembako, melainkan video viral yang belakangan bikin kota Cilegon  ramai dibicarakan di media sosial.

"Kalau orang Jakarta lihat, dikira minta proyek seenaknya. Padahal, mungkin cuma mau hidup layak di tanah sendiri," ujar salah satu dari mereka, suaranya berat menahan geram dari pemberitaan yang memojokan sekelompok orang yang disebut pengusaha lokal itu.

Viralnya video sekelompok warga Cilegon yang meminta jatah proyek senilai Rp5 triliun kepada perusahaan asal Tiongkok, PT Chengda, sebagai kontraktor utama PT Chandra Asri Alkali (PT CAA) tanpa melalui proses tender bukan sekadar pertunjukan arogansi warga terhadap investasi.

Ia hanya mencerminkan kegagalan struktural dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi di Kota Cilegon yang selama ini dibanggakan sebagai pusat industri nasional.

Fenomena ini mengungkap paradoks yang semakin menganga: investasi tumbuh, tetapi kemiskinan dan pengangguran tetap menjamur.

Cilegon hari ini bukan kota kecil yang tak dikenal. Pemerintah pusat bahkan telah menetapkan kota ini sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan masuknya berbagai investasi skala besar seperti perluasan pabrik petrokimia Chandra Asri, pembangkit listrik Jawa-Bali dan kehadiran kawasan industri berbasis hilirisasi.

Pada permukaannya, data menunjukkan geliat ekonomi yang dinamis: nilai investasi industri petrokimia dan baja terus meningkat, lahan-lahan dikapling untuk kawasan industri, dan ratusan truk kontainer hilir-mudik setiap hari di jalan nasional Cilegon--Merak.

Namun di balik gegap gempita investasi itu, realitas sosial justru menyedihkan. Data resmi Pemerintah Kota Cilegon pada 2024 menunjukkan bahwa angka pengangguran masih berada di kisaran 6,08 persen, dengan jumlah penganggur tak terkendali.

Ironisnya, angka ini menjadikan Cilegon sebagai salah satu kota dengan pengangguran tertinggi di Provinsi Banten. Bahkan lebih ironis lagi, tingkat kemiskinan justru naik dari 3,64 persen menjadi 3,98 persen dalam kurun satu tahun terakhir. Padahal, seharusnya pertumbuhan investasi mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan daya beli warga.

Pemerintah kota memang telah mencoba merespons problem ini dengan berbagai program peningkatan kapasitas sumber daya manusia, seperti pelatihan kerja dan pemberian beasiswa full sarjana bagi warga tidak mampu. Sejak 2021, sekitar 3.000 warga telah mendapat bantuan pendidikan ini.

Namun upaya itu belum cukup untuk menjembatani kebutuhan industri dengan potensi tenaga kerja lokal yang masih rendah dalam pendidikan dan keterampilan. Mayoritas lulusan sekolah di Cilegon hanya sampai jenjang SMP, sementara perusahaan industri membutuhkan tenaga kerja terampil dan bersertifikasi.

Di sisi lain, kehadiran investasi besar ternyata juga tidak memberikan kontribusi signifikan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah kota masih kesulitan menarik retribusi dan pajak daerah dari sektor industri, baik karena keterbatasan regulasi maupun lemahnya pengawasan.

Potensi ekonomi yang besar justru menguap ke pusat atau provinsi, sementara kota yang menampung dampak lingkungan dan sosial dari industri hanya mendapat remah-remahnya.

Hal ini membuat Pemkot Cilegon tak berdaya memperbaiki infrastruktur, memperluas pendidikan vokasi, atau menyediakan layanan publik berkualitas yang dibutuhkan warga.

Dalam konteks ini, aksi sekelompok warga yang menuntut proyek triliunan rupiah tanpa tender bisa dibaca sebagai bentuk keputusasaan kolektif. Mereka bukan tidak tahu hukum; mereka hanya tidak percaya lagi pada mekanisme formal yang selama ini tidak memberikan tempat yang adil bagi masyarakat lokal.

Tentu saja tuntutan mereka tidak dapat dibenarkan dari segi etika tata kelola. Namun, jika akar masalahnya tidak diselesaikan---yakni ketimpangan distribusi hasil investasi---tindakan seperti ini bisa terus terulang dengan skala dan aktor yang lebih besar.

Situasi ini menjadi cermin bagi pemerintah pusat dan daerah bahwa industrialisasi tanpa strategi pembangunan manusia dan tata kelola fiskal yang baik akan menciptakan ruang kosong di tengah kota: kawasan industri yang megah dikelilingi kantong-kantong kemiskinan.

 Cilegon yang digadang-gadang sebagai kota industri justru bisa menjelma jadi kota alienasi, di mana warga asli merasa terpinggirkan di tanah sendiri.

Jika Cilegon ingin keluar dari jebakan ini, dibutuhkan intervensi serius. Pemerintah pusat harus membuka ruang evaluasi atas dampak PSN terhadap kesejahteraan lokal. Pemerintah daerah harus berani merombak pendekatan tata kelola investasi yang lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya investor.

Dunia industri pun mesti berhenti memperlakukan kota ini hanya sebagai ladang produksi, tapi sebagai komunitas yang perlu dihidupi.

Investasi seharusnya menjadi jembatan kesejahteraan, bukan menara gading yang memisahkan warga dari kemajuan. Cilegon tak butuh proyek triliunan tanpa tender; ia butuh distribusi yang adil dari nilai tambah yang dihasilkan di tanahnya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun