Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Transaksi Literasi

10 Juni 2025   07:13 Diperbarui: 10 Juni 2025   07:19 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikotomi tanggung jawab dan hak selama di rumah, di sekolah dan di masyarakat sudah tergambar jelas dalam benak. Bahkan dalam satu topik tertentu diceritakan, saat anak merasakan lapar, ia berinisiatif untuk memasak nasi goreng. 

Bermodalkan rasa nekat dan sok tahu yang kelewatanbatas, sembarangan rempah dan bahan-bahan disiapkan. Sembari mengingat-ingat komposisi menu nasi goreng buatan sang ibu ia mulai bereksperimen. Wajan dipanaskan. Minyak goreng dituangkan sedikit. Bawang merah digoreng sebentar lantas nasi dimasukkan. Nah, bagian memasukan bumbu-bumbu yang rancu. Ia tidak tahu persis takaran pas. 

Taraaa... Hasilnya, ya sudah dapat ditebak. Rasanya gak karuan bahkan cenderung asin banget. Padahal dari segi tampilan sudah sangat menjanjikan. Menjanjikan kayak buatan ibu. Ada benarnya kata buku SiDu, "don't judge by cover". Untung, sang ibu datang tepat waktu. Sembari meminta maaf karena belanja tak bilang-bilang sang ibu tertawa kecil melihat kelakukan perempuan kecilnya. "Sini biar ibu masakan saja ya", tandas ibu. 

Sementara buku Seharian Tanpa Ponsel mendedah bagaimana mendidik anak menjalani rutinitas tanpa ketergantungan hp. Ada banyak tawaran yang disodorkan penulis. Mulai dari membuat jadwal yang ketat penggunaan hp, tidak membelikan hp mandiri anak hingga Mengajak-mengarahkan anak untuk bermain mainan tradisional bersama teman di taman. 

Kebetulan permainan yang dicontohkan di komik adalah kucing-kucingan. Saling mengejar teman sampai semuanya tertangkap. Permainan ini mengasah tiga aspek: kognitif, afektif dan psikomotorik pada diri sang anak sekaligus. Disadari ataupun tidak, saat anak bermain kucing-kucingan otot kaki dilatih, pikiran menyusun strategi dengan cepat dan saat tangan berhasil menangkap teman rasa bahagia pecah.

Entah mengapa penulis memilih permainan kucing-kucingan, padahal begitu banyak permainan tradisional tempo dulu. Engrang, congklak, petak umpet, gobak sodor, lompat tali, gundu, bentengan dan lain sebagainya. Nah, jadi tahu kan kalau saya sudah berumur. Upsss. 

Topik ini sangat relevan dengan kondisi hiruk-pikuk generasi stroberi saat ini. Di mana anak-anak sangat bergantung pada gadget. Ruang kebebasan bereksperimen dan berekspresi mereka teralihkan dengan berselancar di media digital internet.

Internet memang menyuguhkan big data namun mendidik anak untuk tak mau ribet berpikir. Butuh apa pun pikirnya cukup copy paste tanpa mengcroscek kebenaran data informasi pada sumber langsung. Piranti interkonektivitas itu menjadikan anak lebih suka velocity daripada belajar ngaji. Media sosial itu meracuni anak untuk mengikuti yang sedang viral daripada petuah ibu. 

Tulungagung, 10 Juni 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun