Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Komik Next G Besutan Muffin Graphics

8 Juni 2025   06:46 Diperbarui: 8 Juni 2025   09:30 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri salah satu komik Qadira yang saya baca

Suatu hari di saat penat, saya sengaja mengunjungi kelas 2 untuk meminjam koleksi komik Qadira. Dengan senang hati ia menjereng koleksi komiknya di atas meja. "Ustadz mau pilih yang mana?" Seloroh Qadira. "Komik yang ceritanya seru, ada gak?" Saya menimpalinya. Qadira pun menyodorkan pilihan komik yang menurutnya memuat cerita seru dan memanjakan pembaca. 

Sebelum berpaling dari kelas ia mengingatkan saya, "Kalau sudah selesai jangan lupa segera dikembalikan ya, tadz". Saya menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujuinya. Cukup sepuluh menit saja untuk saya menuntaskan komik setebal delapan puluhan lembar itu. 

Bak dahaga yang belum tuntas terpuaskan, saya pun kembali meminjam buku komik lain. Tuntas baca dikembalikan. Judul komik baru diganyang. Terhitung ada empat kali proses barter. Hari itu saya berhasil menamatkan lima buku komik dengan ragam ketebalan. 

Baca juga: Anak Penjajak Komik

Membaca komik itu ternyata asyik. Media pelipur lara yang tepat manakala kondisi hati sedang jengah, kepala penat atau sedikit bosan dengan buku bacaan serius. Benar adanya kata Prof. Naim bahwa, jikalau seorang penulis merasa bosan dan butuh refreshing yang murah meriah maka membaca sesuatu yang ringan adalah obat. 

Tak jarang, pikiran yang awalnya rumit dan merasa mentok akhirnya mampu tercerahkan (terurai) kembali setelah membaca buku ringan. Proses "refresh" ini perlu dilakukan guna menghilangkan-melemaskan ketegangan otot-otot syaraf di kepala dan rasa kaku yang mendalam. Pikiran yang dipenuhi ketegangan karena diporsir habis-habisan dapat menyumbat tingkat kepekaan akan hadirnya ide di sekitar. 

Memudarnya tingkat kepekaan atas hadirnya ide di sekitar lambat laun bisa mendorong diri menunda rencana untuk menulis dengan sengaja. Sekali dua kali dianggap maklum namun lama-kelamaan berujung pada sikap permisif. Sikap perusak yang jika dibiarkan dapat mencerabut budaya literasi di dalam diri. 

Kembali ke topik. Setelah tuntas membaca komik Mahkota Surga, Teman Misterius, Rahasia Jago Matematika dan dua komik lain, akhirnya saya mendapatkan gambaran tentang bagaimana buku komik Muffin mengalami "persalinan". Serial komik Muffin ternyata bukan karya solo melainkan antologi. 

Para penulis komik tersebut merupakan siswa-siswi berbagai jenjang sekolah di seluruh pelosok Indonesia. Kebetulan mayoritas penulis di tujuh komik yang saya baca masih duduk di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Ada pula seorang mahasiswi. 

Tak hanya penulis komik, para komikus Muffin Graphics pun memiliki latar belakang pendidikan berbeda. Ada siswa yang masih duduk di bangku SMK, mahasiswa hingga lulusan universitas. Kendati begitu semuanya menggeluti bidang desain grafis/visual.

Satu eksemplar buku komik bisa terdiri dari 5-8 topik. Satu topik cerita bisa mencapai 5-10 halaman atau lebih. Jumlah ini memungkinkan perbedaan topik antara satu penulis dengan lainnya. Kendati begitu justru di sanalah letak keunikan dan originalitas keragaman imajinasi seorang anak. 

Kekayaan imajinasi adalah modal penting untuk membuat komik yang "hidup". Ada benarnya kata Desy (sang editor cetakan kedua komik) bahwa, imajinasi dan cerita anak hanya akan dipahami dengan baik oleh seorang anak. Jika pun orang dewasa berusaha membaca dan memahaminya mungkin akan tampak biasa. Itu terjadi karena cara berpikir dan pandangan orang dewasa sudah berkembang jauh dibandingkan anak-anak. Anak-anak memiliki dunia imajinasi tersendiri dengan keunikan yang bervariatif. 

Uniknya, setiap topik selalu disertai dengan biodata penulis dan komikus. Coretan gambar komik asli penulis pun turut dimuat. Alhasil, pembaca bisa menimbang sekaligus menilai sinkronisasi antara gambaran awal dan hasil ilustrasi yang dibuat. Tak ketinggalan, tepat di halaman terakhir dilampirkan formulir dan syarat pengiriman naskah ke redaktur Komik Next G besutan Muffin. 

Lebih jauh, hemat saya, pemilihan konten komik Next G besutan Muffin memiliki sistem yang sama dengan majalah Bobo. Sama-sama mewadahi-menjaring kreativitas anak dalam menuangkan cerita melalui gambar. Komik salah satunya. 

Komik dipilih dengan pertimbangan karena anak-anak cenderung menyukai sesuatu yang bersifat visual dan berwarna. Visual dan warna-warna tersebut tentu akan merangsang tumbuh kembang kognitif anak. Saat proses membaca komik perlahan akan ada validasi dan konfirmasi antara realitas dan fiktif. 

Serangkaian pertanyaan perbandingan akan muncul ke muka. Pertanyaan itu muncul disebabkan anomali nir realitas. Apa yang biasanya dilihat tidak sesuai dengan apa yang ia baca. Alhasil, muncullah satu pemahaman baru tentang dunia ide dengan segala kefiktifan dan kebebasan. 

Daun kok warnanya biru? Mata itu kalau lihat uang warnanya jadi hijau ya? Ada orang kok kepalanya bintang ya? Demikian contoh bentuk pertanyaan validasi atas hal-hal anomali tatkala membaca komik. Mendapati hal tersebut terkadang anak akan bertanya kepada orang dewasa. Orang tua atau siapapun yang ada di sekitar yang ia percaya. 

Meninjau konten yang ada, ilustrasi ditekankan ramah anak. Alur cerita sederhana namun mendorong terasahnya aspek kognitif, apektif dan spiritual pembaca. Cerita pun dikemas apa adanya tidak mesti happy ending. 

Nah, dari sana kita mafhum, siapa pun bisa mengirimkan coretan komik asli via email yang tersedia. Kemudian naskah disortir dan dikurasi sesuai standar. Tak lupa sertakan scanan formulir persetujuan dari penulis dan orangtua. 

Dalam prosesnya, bisa saja tim menolak mentah-mentah naskah yang masuk. Hal itu terjadi jika ketahuan naskah yang dikirimkan dicap hasil plagiat. Originalitas dalam berkarya memang harga mati. Harga yang terkadang tidak dapat ditebus dengan besaran royalti. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun