Suatu hari di saat penat, saya sengaja mengunjungi kelas 2 untuk meminjam koleksi komik Qadira. Dengan senang hati ia menjereng koleksi komiknya di atas meja. "Ustadz mau pilih yang mana?" Seloroh Qadira. "Komik yang ceritanya seru, ada gak?" Saya menimpalinya. Qadira pun menyodorkan pilihan komik yang menurutnya memuat cerita seru dan memanjakan pembaca.Â
Sebelum berpaling dari kelas ia mengingatkan saya, "Kalau sudah selesai jangan lupa segera dikembalikan ya, tadz". Saya menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujuinya. Cukup sepuluh menit saja untuk saya menuntaskan komik setebal delapan puluhan lembar itu.Â
Bak dahaga yang belum tuntas terpuaskan, saya pun kembali meminjam buku komik lain. Tuntas baca dikembalikan. Judul komik baru diganyang. Terhitung ada empat kali proses barter. Hari itu saya berhasil menamatkan lima buku komik dengan ragam ketebalan.Â
Membaca komik itu ternyata asyik. Media pelipur lara yang tepat manakala kondisi hati sedang jengah, kepala penat atau sedikit bosan dengan buku bacaan serius. Benar adanya kata Prof. Naim bahwa, jikalau seorang penulis merasa bosan dan butuh refreshing yang murah meriah maka membaca sesuatu yang ringan adalah obat.Â
Tak jarang, pikiran yang awalnya rumit dan merasa mentok akhirnya mampu tercerahkan (terurai) kembali setelah membaca buku ringan. Proses "refresh" ini perlu dilakukan guna menghilangkan-melemaskan ketegangan otot-otot syaraf di kepala dan rasa kaku yang mendalam. Pikiran yang dipenuhi ketegangan karena diporsir habis-habisan dapat menyumbat tingkat kepekaan akan hadirnya ide di sekitar.Â
Memudarnya tingkat kepekaan atas hadirnya ide di sekitar lambat laun bisa mendorong diri menunda rencana untuk menulis dengan sengaja. Sekali dua kali dianggap maklum namun lama-kelamaan berujung pada sikap permisif. Sikap perusak yang jika dibiarkan dapat mencerabut budaya literasi di dalam diri.Â
Kembali ke topik. Setelah tuntas membaca komik Mahkota Surga, Teman Misterius, Rahasia Jago Matematika dan dua komik lain, akhirnya saya mendapatkan gambaran tentang bagaimana buku komik Muffin mengalami "persalinan". Serial komik Muffin ternyata bukan karya solo melainkan antologi.Â
Para penulis komik tersebut merupakan siswa-siswi berbagai jenjang sekolah di seluruh pelosok Indonesia. Kebetulan mayoritas penulis di tujuh komik yang saya baca masih duduk di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Ada pula seorang mahasiswi.Â
Tak hanya penulis komik, para komikus Muffin Graphics pun memiliki latar belakang pendidikan berbeda. Ada siswa yang masih duduk di bangku SMK, mahasiswa hingga lulusan universitas. Kendati begitu semuanya menggeluti bidang desain grafis/visual.
Satu eksemplar buku komik bisa terdiri dari 5-8 topik. Satu topik cerita bisa mencapai 5-10 halaman atau lebih. Jumlah ini memungkinkan perbedaan topik antara satu penulis dengan lainnya. Kendati begitu justru di sanalah letak keunikan dan originalitas keragaman imajinasi seorang anak.Â