Satu kata yang mewartakan duka perasaan
 Ia ada karena prahara keintiman
hubungan yang bersambung pertikaian
salah paham, konflik dan ketelanjuran
Atau memang solusi terbaik yang harus timbul ke permukaan
Jalan yang harus ditempuh meskipun enggan
Setapak demi setapak kita saling meninggalkan
Membawa raut wajah yang saling memalingkan
Melipat segala bentuk tingkah sebagai kemaluan
Saling mengacuh sembari menyembelih perasaan
Mengusap peluh dalam sendu sedan
Memupus memori indah kebersamaan
Menghapus jejak rayuan maut yang telah kena sasaran
Atas nama pengkhianatan, perbedaan keyakinan atau restu yang tak kunjung diberikan
Gejolak asmara yang kian mendidih itu pun harus ditanggalkan
Tujuan akhir duduk di pelaminan itu segera karam dihantam kenyataan
Perlahan-lahan kita mendayung biduk yang menghilirkan arus bernama saling melupakan
Meski menyisakan kecamuk perih yang rasanya terus mernyelinap berulang-ulang dalam keheningan
Dan semuanya tumpah menjelma sesenggukan
Dalam kesendirian masing-masing kita merintih kesakitan
Tak apa tapi, biarkan luka itu melarutkan diri lantas menjadi kekuatan
Biarkan kerapuhan rasa yang meliputi jiwa itu mengesampingkan kuasa akal pikiran
Untuk sesaat biarlah rasa yang menjadi pusat perhatian
Tuan dari sekian tuan
Nahkoda dari segala gundah dan pelampiasan
Walau polahnya mengarah pada ketidakwarasan
Tapi jangan pula sampai kebablasan
Batas-batas penyesalan itu biar kita tuntaskan
Keringkan, lalu kita lekas membaik menjadi kawan
Bukan malah menjadi musuh bebuyutan
Menyimpan kobaran dendam yang tak berkesudahan
Meski cangggung tak dapat dinafikan
Meski sejarah tak benar-benar dapat disembunyikan
Meski asing beradu pandang tatkala berpapasan
Namun jangan pernah dituruti bisikan setan
Toh kalian sudah tahu-menahu bukan? Bagaimana membopong tubuh yang penuh sesak keterlaluan?
Berjalan menapak tapi terasa melayang
Menjalani hidup tapi dirundung kematian harapan
Berat memikul pedih hati dan pucat pasi perasaan