Pendahuluan: Wajah Manis, Realita Gelap
Pada 30 September 2025, DPR RI resmi mengesahkan perjanjian ekstradisi Indonesia–Rusia. Media menyorotnya sebagai langkah diplomasi penting yang memperkuat kerja sama hukum kedua negara. Namun, di balik kabar yang tampak menggembirakan ini, ada pertanyaan besar yang sepatutnya kita renungkan: sejauh mana hukum internasional benar-benar berpihak pada keadilan, dan sejauh mana ia sekadar menjadi alat kontrol kekuasaan negara-negara besar?
Kita sering diajari bahwa hukum internasional adalah instrumen menjaga perdamaian dunia. Ia digambarkan netral, adil, dan berlaku sama untuk semua negara. Tetapi sejarah dan kenyataan berbicara lain: hukum internasional sering tajam ke negara lemah, tetapi tumpul ke negara kuat.
Sejarah & Asal-usul Hukum Internasional Barat
Hukum internasional modern lahir dari rahim kolonialisme dan perang dunia. Setelah perang usai, negara-negara Barat—khususnya Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya—merancang aturan global yang mereka sebut “universal.” Lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk, konvensi internasional disusun, dan standar hukum ditetapkan.
Namun, siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Negara-negara besar menjadi penentu agenda, sementara negara kecil hanya bisa ikut menandatangani tanpa daya tawar yang sejajar. Maka sejak awal, hukum internasional lebih mirip perpanjangan tangan politik global Barat.
Kasus Nyata: Hukum yang Tak Adil
Contoh paling nyata adalah Palestina. Puluhan resolusi PBB menuntut Israel menghentikan penjajahan dan penggusuran, tetapi tidak pernah ditegakkan. Israel tetap kebal, karena dilindungi oleh veto Amerika di Dewan Keamanan.
Invasi Irak tahun 2003 pun sama. Serangan militer Amerika Serikat dilakukan tanpa dasar hukum internasional yang sah, tetapi tetap dicarikan legitimasi lewat jargon “senjata pemusnah massal.” Dunia tahu alasan itu palsu, namun hukum internasional tak berdaya menghadapi kepentingan adidaya.
Hari ini, bahkan perjanjian ekstradisi antarnegara pun bisa dilihat sebagai instrumen politik. Indonesia dan Rusia memang punya kepentingan bersama, tetapi jangan lupa: mekanisme hukum internasional sering dipakai bukan untuk melindungi, melainkan untuk mengikat dan mengontrol. Hukum jadi alat kepentingan, bukan payung keadilan.