Pernahkah kita merasa politik di negeri ini berjalan seperti mesin tanpa sopir? Sidang-sidang parlemen digelar, baliho berjejer di pinggir jalan, dan pidato pejabat terdengar lantang, tetapi rakyat tetap bertanya-tanya: ke mana arah kapal besar bernama Indonesia ini hendak berlayar? Pertanyaan sederhana ini sejatinya menggelitik kesadaran kita, karena politik seharusnya bukan sekadar perebutan kursi, melainkan sarana menuntun bangsa menuju cita-cita luhur.
Politik Kehilangan Ruh
Dalam sejarah peradaban, politik selalu lahir dari ruh: semangat menata kehidupan agar lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Politik bukan sekadar alat teknis, melainkan amanah untuk mengelola kehidupan manusia. Namun kini, sering kali ruh itu hilang. Yang tersisa hanyalah pertarungan kepentingan: siapa berkoalisi dengan siapa, siapa mendapat jatah kursi, dan siapa yang akan dikorbankan demi kekuasaan.
Ketika politik kehilangan ruh, ia berubah menjadi tubuh tanpa jiwa. Ada aktivitas, ada hiruk-pikuk, tetapi miskin makna. Politik hanya berputar pada hitungan jangka pendek, bukan visi panjang yang memberi arah bagi bangsa. Inilah yang membuat rakyat mudah apatis: mereka tidak lagi melihat politik sebagai jalan perubahan, melainkan sekadar panggung perebutan kekuasaan.
Kondisi ini terlihat jelas dalam berbagai kebijakan. Masalah pendidikan ditangani setengah hati, infrastruktur dibangun megah tetapi tidak disertai perencanaan berkelanjutan, dan isu lingkungan hanya direspons setelah bencana terjadi. Proyek demi proyek diluncurkan dengan angka fantastis, tetapi manfaatnya sering tidak dirasakan masyarakat bawah.
Kekuasaan tanpa arah ibarat kapal besar dengan mesin menyala, tetapi tanpa kompas. Ia melaju, tetapi tidak tahu ke mana tujuannya. Padahal, arah itu hanya bisa ditentukan jika ada nilai yang menjadi pedoman. Tanpa ruh yang menuntun, kekuasaan mudah terjebak pada pragmatisme sesaat.
Konteks Lokal Indonesia
Di tingkat lokal, gambaran ini lebih nyata. Bupati atau wali kota sering lebih sibuk meresmikan proyek fisik daripada memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Jalan dibeton mulus, tapi layanan kesehatan masih minim. Gedung megah berdiri, tapi masalah hukum tak kunjung terselesaikan.
Petani di desa kerap mengeluh soal harga gabah yang jatuh, tetapi jawaban politik hanya berupa bantuan instan. Masalah sampah dan banjir di kota besar berulang-ulang terjadi, karena pemerintah hanya merespons darurat, bukan membangun solusi jangka panjang. Semua ini menunjukkan bahwa politik sering berjalan tanpa ruh yang menuntun pada keadilan dan kesejahteraan sejati.
Politik Tanpa Ruh, Rakyat Kehilangan Harapan
Dampak dari politik tanpa ruh juga terlihat dalam fenomena sosial. Aksi massa yang berakhir dengan penjarahan, misalnya, adalah potret nyata hilangnya kepercayaan rakyat. Ketika kebijakan hanya didasarkan pada kalkulasi politik tanpa moral, rakyat kehilangan arah. Ketidakadilan yang menumpuk dan ketimpangan ekonomi akhirnya meledak dalam bentuk kemarahan. Sayangnya, kemarahan itu sering tidak terarah, sehingga melahirkan perusakan dan penjarahan, bukan perubahan konstruktif.
Fenomena ini sesungguhnya bukan hanya masalah sosial, melainkan juga masalah ruh. Ketika politik kehilangan ruh keadilan, rakyat pun kehilangan teladan. Mereka tidak lagi percaya bahwa aspirasi bisa diperjuangkan lewat jalur yang bermartabat. Akibatnya, jalan kekerasan dipilih meski berujung pada kerugian bersama.
Mengembalikan Ruh Islam dalam Politik
Padahal, jika ruh Islam hadir dalam politik — ruh yang menekankan keadilan, persaudaraan, dan amanah — maka energi rakyat tidak akan terbuang sia-sia. Demonstrasi tetap mungkin terjadi, tetapi wujudnya adalah kontrol rakyat yang bermartabat, bukan anarki. Ruh Islam akan membimbing pemimpin untuk menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan alat memperkaya diri atau kelompok.
Islam mengajarkan bahwa politik adalah bagian dari ibadah: mengurus rakyat adalah jalan menuju ridha Allah. Seorang pemimpin bukanlah penguasa, melainkan penggembala yang bertanggung jawab atas setiap domba yang digembalakannya. Konsep ini, bila sungguh-sungguh diterapkan, akan membuat pejabat lebih takut berbuat zalim daripada kehilangan jabatan. Politik pun kembali menjadi jalan untuk menghadirkan maslahat, bukan sekadar kursi kekuasaan.
Penutup
Politik tanpa ruh hanya akan melahirkan kekuasaan tanpa arah. Rakyat memang butuh pembangunan fisik, tapi lebih dari itu haus akan arah moral dan spiritual. Di sinilah ruh Islam harus diletakkan sebagai inti politik: menegakkan keadilan, menjaga amanah, dan menghidupkan persaudaraan. Dengan ruh Islam, kekuasaan tidak lagi menjadi alat perebutan kepentingan, melainkan amanah untuk mengabdi kepada Allah dan melayani umat. Politik yang berjiwa Islam inilah yang akan melahirkan kepemimpinan visioner, adil, bermartabat, dan mengantarkan bangsa menuju cita-cita agung di bawah ridha-Nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI