Sejak pergantian kabinet, publik menaruh harap besar pada sosok Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Tak sedikit yang menagih janji agar negara berhenti menambah utang baru—demi menjaga kedaulatan ekonomi dan menghindari beban cicilan yang terus membesar. Dalam siaran resmi pemerintah, ia menyebut dana negara yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia akan dipindahkan ke bank komersial, dengan catatan tidak akan dipakai untuk Surat Utang Negara (SUN) ataupun kembali ditaruh di bank sentral.
Sinyal ini ditangkap sebagai komitmen awal: apakah era Purbaya benar-benar tanpa utang baru, atau sekadar retorika? Namun, realitas bicara lain. Dalam APBN 2025, sudah tercatat rencana penarikan utang baru sebesar Rp 775,86 triliun. Angka itu memperlihatkan betapa kuatnya sistem kapitalisme menjerat, sehingga janji politik dan kebutuhan fiskal sering berjalan ke arah yang berbeda. Publik pun mulai pesimis: akankah menteri keuangan baru bisa mengubah skenario, atau kita hanya menyaksikan pergantian pemain dalam drama lama yang sama?
Hutang dalam Skema Kapitalisme
Kapitalisme membangun dunia dengan logika utang. Negara yang berutang dianggap normal, bahkan sehat, selama masih mampu membayar bunga dan cicilannya. Bahkan, indikator kemajuan sering dipoles dengan “kemampuan berutang.”
Padahal, utang hanyalah bentuk lain dari ketergantungan. Banyak negara berkembang terjebak dalam apa yang disebut debt trap, jebakan utang yang membuat mereka tak berdaya di hadapan lembaga keuangan internasional. Utang bukan lagi sekadar instrumen pembangunan, melainkan alat kendali politik dan ekonomi.
Hutang Negara Indonesia: Fakta dan Realita
Indonesia pun tak luput dari pusaran ini. Utang terus menanjak, menembus ribuan triliun rupiah. Pemerintah sering menenangkan publik dengan kalimat “rasio utang masih aman di bawah 60 persen dari PDB.” Namun, rakyat merasakan dampaknya secara langsung.
Kenaikan pajak, pencabutan subsidi, serta harga barang yang melambung adalah konsekuensi nyata dari utang tersebut. Sementara itu, proyek-proyek besar dengan biaya fantastis sering kali justru lebih menguntungkan kontraktor asing ketimbang rakyat banyak. Pada akhirnya, generasi muda mewarisi bukan hanya infrastruktur, tapi juga beban cicilan yang kian berat.
Hutang negara, singkatnya, tidak pernah benar-benar selesai. Ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti tongkat estafet yang penuh beban.
Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dirugikan
Kalau ditilik lebih dalam, pihak yang paling diuntungkan dari utang negara adalah lembaga keuangan internasional dan para pemilik modal besar. Mereka memperoleh bunga, jaminan proyek, hingga keuntungan politik.
Sebaliknya, rakyat jelata hanya kebagian “bonus” berupa pajak yang terus naik dan harga kebutuhan yang tak pernah turun. Seperti drama televisi, pemeran antagonis selalu tertawa di akhir episode, sementara penonton hanya bisa menghela napas panjang.
Jalan Keluar: Perspektif Islam
Islam menawarkan cara pandang berbeda. Dalam Islam, negara tidak boleh menjadi pengemis yang bergantung pada utang berbasis riba. Hutang semacam itu justru membuka pintu penjajahan baru.
Islam menempatkan sumber daya alam sebagai milik umum, bukan komoditas yang boleh dikuasai segelintir orang atau asing. Kekayaan tambang, minyak, gas, hutan, dan laut seharusnya dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan dijual ke swasta dengan alasan investasi.
Dengan sistem ini, kebutuhan pembiayaan negara bisa terpenuhi dari kekayaan sendiri, bukan dari pinjaman berbunga. Distribusi ekonomi Islam pun mencegah kesenjangan, sehingga rakyat tidak lagi menanggung beban drama hutang abadi.
Penutup: Drama Panjang Tak Pernah Tamat
Hutang negara memang mirip drama berseri panjang. Setiap pemerintahan datang dengan janji manis “mengurangi utang,” namun ujung-ujungnya menambah cicilan baru. Satu-satunya yang konsisten adalah rakyat yang tetap setia membayar lewat pajak, tarif listrik, harga BBM, dan berbagai pungutan lain.
Pertanyaannya, sampai kapan kita mau terus jadi penonton drama ini? Apakah kita akan puas dengan peran figuran yang hanya menanggung beban, atau berani mengganti skenario dengan sistem yang lebih adil?
Islam menawarkan jawaban. Bukan sekadar menghapus utang, tapi membangun tatanan ekonomi yang menyejahterakan tanpa ketergantungan pada kapitalisme. Sebuah jalan keluar dari drama panjang yang tak pernah tamat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI