Setiap kali musim pemilu tiba, panggung politik kita selalu diramaikan oleh pemandangan serupa: janji-janji manis terpampang di baliho, jargon perubahan digaungkan di setiap sudut, hingga koalisi partai yang berubah-ubah secepat cuaca. Hari ini berseberangan, besok bisa akrab duduk satu meja. Politik kita terlihat sibuk, penuh manuver, dan riuh oleh intrik, namun justru sering kehilangan arah.
Fenomena ini bukan sekadar soal permainan taktik atau strategi sesaat, melainkan cermin dari absennya fondasi yang kokoh. Politik kita berjalan tanpa kompas ideologi—ibarat kapal besar yang berlayar di lautan luas, tetapi tanpa peta dan nahkoda yang tahu tujuan. Maka wajar bila arahnya sering bergeser, bahkan kerap terseret oleh gelombang kepentingan jangka pendek.
Di balik semua hiruk-pikuk politik, sesungguhnya ada satu hal mendasar yang sering diabaikan: ideologi. Tanpa ideologi, politik hanya jadi arena rebutan kursi dan kepentingan pragmatis. Padahal, ideologi ibarat fondasi yang menentukan arah dan tujuan. Ia bukan sekadar kumpulan gagasan, tetapi pandangan hidup yang memancarkan sistem menyeluruh—menjawab bagaimana manusia mengatur hubungan dengan dirinya, sesamanya, dan Sang Pencipta. Inilah yang membedakan politik yang bermakna dari sekadar sandiwara kekuasaan.
Ideologi: Fondasi yang Menentukan Arah
Ideologi bukan sekadar slogan atau semangat nasionalisme. Ideologi adalah keyakinan rasional yang mampu menjawab pertanyaan paling mendasar: dari mana manusia berasal, untuk apa hidup, dan ke mana setelah mati. Dari sana lahir aturan hidup yang menyeluruh—mengatur ekonomi, politik, hukum, sosial, hingga hubungan antarbangsa.
Sepanjang sejarah, hanya ada tiga ideologi yang benar-benar memenuhi syarat itu: kapitalisme, komunisme, dan Islam.
-
Kapitalisme lahir dari gagasan sekularisme: agama dipisahkan dari kehidupan publik. Sistem ini melahirkan demokrasi liberal, pasar bebas, dan kebebasan individu. Namun, dampaknya bisa kita lihat: kesenjangan sosial yang tajam, politik uang merajalela, hingga krisis lingkungan akibat eksploitasi tanpa batas.
Komunisme lahir dari materialisme, menolak keberadaan Tuhan. Ia pernah berjaya di abad ke-20, tapi runtuh di banyak negara karena gagal memberi ruang pada kebebasan manusia dan tak mampu mengatasi krisis ekonomi.
Islam berangkat dari tauhid: keyakinan rasional bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan. Dari sini lahir sistem hidup yang lengkap—mengatur ibadah pribadi, distribusi kekayaan, keadilan hukum, hingga hubungan internasional.
Ketiganya sama-sama disebut ideologi. Bedanya, kapitalisme dan komunisme sudah menunjukkan kelemahan serius. Islamlah yang tetap kokoh karena ajarannya sesuai fitrah, bisa dipahami akal, dan menenteramkan hati.
Politik Tanpa Ideologi: Pragmatis dan Transaksional